Mohon tunggu...
Kholil Rokhman
Kholil Rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - IG di kholil.kutipan

Manata hati merawat diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Petak Sawah Terakhir

3 Maret 2020   19:12 Diperbarui: 3 Maret 2020   19:19 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto hanya ilustrasi, sumber foto: kompas.com

Bapak tak pernah berubah pikiran. Bapak tak mau menjual sawah sekalipun berulang-ulang dia terus dirayu dari berbagai penjuru.

Sawah bapak tak luas, kira-kira seperempat lapangan sepak bola. Sawah itu memberi kontribusi bagi pendidikanku dan kakakku. Selain pendapatan dari menjual gabah hasil sawah, keluarga kami mendapatkan rupiah dari warung kelontong ibu yang ada di depan rumah.

Bapak sudah berkali-kali bilang bahwa dia tak akan pernah menjual sawah. Saat itu, pengembang rumah datang dan menawari harga yang cukup tinggi, tapi bapak tak mau menjualnya. Alhasil, perumahan dari pengembang itu seperti ada ruang yang berlubang karena ada sawah milik bapak. Sawah bapak dikelilingi perumahan.

Para kolega bapak yang dulu punya sawah memutuskan menjual pada pengembang perumahan. Pasalnya, mereka sudah jenuh bersawah karena pendapatannya tak seberapa. Jika panen besar, harga  gabah anjlok. Di lain sisi, tak jarang sawah gagal panen karena hama yang sepertinya sudah kebal dengan obat kimia.

Mereka, para kolega bapak itu berpikir praktis. Buat apa susah payah bertani. Lebih baik sawah dijual dan uang untuk dagang atau usaha lainnya. Atas keputusan para teman itu, bapak tak pernah memprotesnya karena itu hak masing-masing orang.

Tanah sawah milik bapak itu adalah tanah basah, yakni tanah yang memang diperuntukkan bagi sawah. Harusnya memang dilindungi dan tak boleh digunakan untuk yang lain, seperti dibuat untuk perumahan. Namun, ya begitulah. Ketika semua sudah sepakat menjual sawah, mau bagaimana lagi.

Tapi, bapak tak pernah mempersoalkan tanah basah dan tanah kering. Bapak tetap berpendirian tak menjual sawah, tapi bukan karena tanah itu tanah basah. Bapak tak mau menjual karena itu adalah sawah warisan turun-temurun. Bapak merasa dosa besar jika menjual sawah itu. Bahkan, ibarat kata, apapun yang terjadi, bapak akan mempertahankan sawah itu.

Satu ketika dalam beberapa hari, aksi ratusan orang pernah muncul di sekitar sawah. Itu terjadi saat awal-awal sawah akan dibeli. Mereka yang demonstrasi itu meminta agar pemerintah tetap memelihara sawah  dan meminta pengembang tak membeli area sawah itu. Mereka juga memprotes mengapa pemerintah membolehkan penjualan lahan basah untuk dijadikan perumahan.

Kala demo itu, seperti sekumpulan orang 'asing'. Sebab, banyak dari para pendemo itu tak aku kenal. Mereka bukan orang desa kami. Ya, hanya segelintir yang orang desa dan juga petani. Selebihnya, yang memakai pengeras suara itu tak aku kenal. Dari kejauhan kala melihat demo itu, bapak tersenyum kecut.

Kakakku, Marto, termasuk yang ikut demo itu.  Dia semangat sekali membawa parang saat demo. Kala itu, aku masih mahasiswa semester 1. Sebenarnya aku sangat semangat untuk ikut demo, tapi bapak sudah bilang bahwa aku tidak boleh ikut demo. Omongan bapak selalu aku pegang tanpa aku tanya alasannya. Setiap bicara bapak sangat berwibawa sehingga membuatku tak pernah melawannya. Sementara untuk kasus demo itu, bapak tak pernah melarang kakakku ikut berdemo.

Setelah sepekan aksi demonstrasi dilakukan, kakakku kecewa. Dia membeberkan si pemimpin demo. "Ternyata Mardi itu tukang demo bayaran pak. Dia hanya menggerakkan massa untuk bisa mendapatkan keuntungan dari pengembang. Cara kerjanya memang seperti itu. Sekarang ngga tahu dia pergi ke mana. Sebagian dari pendemo itu juga orang-orangnya Mardi," kata kakakku pada bapak sambil geleng-geleng kepala. Bapak tak berkomentar sedikit pun. Memang bapakku seperti itu. Kakakku juga paham bahwa dia ditipu dan dia harus belajar dari aksi demo itu.

Setelah perumahan itu berdiri dan mengelilingi sawah bapak, semakin sulit bagi bapak menanam padi. Sebab, mau dapat air dari mana, hanya mengandalkan air hujan. Kemudian, bapak membuat sumur di tengah sawah, tapi itu tak mencukupi, apalagi saat jarang hujan.

Lalu, karena menanam padi makin sulit, bapak pun memilih menanam jagung yang tak membutuhkan air sebanyak menanam padi. Namun, semua tanaman bapak menjadi sirna karena seorang warga perumahan menutup rapat jalur ke sawah. Orang yang menutup jalur itu adalah yang pernah kalah dari bapak saat pemilihan kepala desa 20 tahun sebelumnya. 

Mau ke sawah, bapak jelas kesulitan. Benar-benar kesulitan. Marto, kakakku mencak-mencak melihat bapak diperlakukan tak adil. Tapi bapak bilang ke Marto supaya diam saja. Bapak akan bicara baik-baik pada warga perumahan. Bapak juga meminta agar pihak pemerintah membantu. Tapi semua usaha bapak yang baik-baik itu buntu.

Saat kondisi seperti itu, bapak mulai sakit-sakitan. Marto, kakakku hanya bisa menahan bara. Aku sendiri sudah lulus kuliah dan dipersilakan bapak untuk kerja pada kantor swasta di kota. Dalam situsasi seperti itu, kata para tetangga, ibu yang terlihat paling tenang. Tenang sekali, nyaris tak ada aura permusuhan.

Sebelum wafat, bapak bilang ke kakakku Marto. Intinya, Marto diminta agar sabar dan pasrah pada yang Maha Kuasa. Jika pun ingin berjuang, maka berjuang dengan cara orang-orang beradap. Bapak berpesan agar sawah yang sudah 'mati' itu tak dijual.  Bapak juga meminta agar dirinya dikubur di area sawah itu.

Saat bapak meninggal, aku pun ikut serta kesulitan membawa jenazah ke area sawah itu. Sebab, memang tak ada jalur ke sawah. Kami pun harus melobi salah satu penghuni perumahan agar jenazah bapak bisa melewati rumah itu hingga bisa ke sawah. Tak elok kiranya bagaimana kami membawa jenazah bapak. Tapi, alhamdulillah berhasil.

***

Sawah itu sudah tak terawat, sangat tak terawat. Lalu, pelan tapi pasti, pohon pohon bertumbuhan di sawah bapak. Pohon itu menjulang tinggi mengelilingi makam bapak. Aku tak paham itu pohon apa. Orang-orang di perumahan hanya menyebut itu pohon Kasmuri, merujuk nama bapak. Pohon-pohon itu menjulang tinggi dan mewangi, sangat mewangi.

Perlahan dari hari ke hari, akar-akarnya keluar dari tanah sawah milik bapak. Akar-akar itu membesar seukuran paha orang dewasa. Akar itu menjalar ke mana-mana. Menyasar apapun yang dekat dengannya. Tak bisa dibendung. Rumah-rumah itu rontok satu demi satu. Para penghuni pergi setelah mendapatkan ganti rugi. Aku tak tahu para penghuni itu pergi ke mana.

Akar-akar pohon yang wangi itu benar-benar tak bisa dihentikan. Sampai sekarang. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun