Mohon tunggu...
Kholil Rokhman
Kholil Rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - IG di kholil.kutipan

Manata hati merawat diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Petak Sawah Terakhir

3 Maret 2020   19:12 Diperbarui: 3 Maret 2020   19:19 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto hanya ilustrasi, sumber foto: kompas.com

Setelah perumahan itu berdiri dan mengelilingi sawah bapak, semakin sulit bagi bapak menanam padi. Sebab, mau dapat air dari mana, hanya mengandalkan air hujan. Kemudian, bapak membuat sumur di tengah sawah, tapi itu tak mencukupi, apalagi saat jarang hujan.

Lalu, karena menanam padi makin sulit, bapak pun memilih menanam jagung yang tak membutuhkan air sebanyak menanam padi. Namun, semua tanaman bapak menjadi sirna karena seorang warga perumahan menutup rapat jalur ke sawah. Orang yang menutup jalur itu adalah yang pernah kalah dari bapak saat pemilihan kepala desa 20 tahun sebelumnya. 

Mau ke sawah, bapak jelas kesulitan. Benar-benar kesulitan. Marto, kakakku mencak-mencak melihat bapak diperlakukan tak adil. Tapi bapak bilang ke Marto supaya diam saja. Bapak akan bicara baik-baik pada warga perumahan. Bapak juga meminta agar pihak pemerintah membantu. Tapi semua usaha bapak yang baik-baik itu buntu.

Saat kondisi seperti itu, bapak mulai sakit-sakitan. Marto, kakakku hanya bisa menahan bara. Aku sendiri sudah lulus kuliah dan dipersilakan bapak untuk kerja pada kantor swasta di kota. Dalam situsasi seperti itu, kata para tetangga, ibu yang terlihat paling tenang. Tenang sekali, nyaris tak ada aura permusuhan.

Sebelum wafat, bapak bilang ke kakakku Marto. Intinya, Marto diminta agar sabar dan pasrah pada yang Maha Kuasa. Jika pun ingin berjuang, maka berjuang dengan cara orang-orang beradap. Bapak berpesan agar sawah yang sudah 'mati' itu tak dijual.  Bapak juga meminta agar dirinya dikubur di area sawah itu.

Saat bapak meninggal, aku pun ikut serta kesulitan membawa jenazah ke area sawah itu. Sebab, memang tak ada jalur ke sawah. Kami pun harus melobi salah satu penghuni perumahan agar jenazah bapak bisa melewati rumah itu hingga bisa ke sawah. Tak elok kiranya bagaimana kami membawa jenazah bapak. Tapi, alhamdulillah berhasil.

***

Sawah itu sudah tak terawat, sangat tak terawat. Lalu, pelan tapi pasti, pohon pohon bertumbuhan di sawah bapak. Pohon itu menjulang tinggi mengelilingi makam bapak. Aku tak paham itu pohon apa. Orang-orang di perumahan hanya menyebut itu pohon Kasmuri, merujuk nama bapak. Pohon-pohon itu menjulang tinggi dan mewangi, sangat mewangi.

Perlahan dari hari ke hari, akar-akarnya keluar dari tanah sawah milik bapak. Akar-akar itu membesar seukuran paha orang dewasa. Akar itu menjalar ke mana-mana. Menyasar apapun yang dekat dengannya. Tak bisa dibendung. Rumah-rumah itu rontok satu demi satu. Para penghuni pergi setelah mendapatkan ganti rugi. Aku tak tahu para penghuni itu pergi ke mana.

Akar-akar pohon yang wangi itu benar-benar tak bisa dihentikan. Sampai sekarang. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun