"Banyak hal," jawabmu singkat.
"Contoh?" Kejarku.
Sejenak kau menghela nafas. Seperti sedang mengumpulkan seluruh amunisi untuk memberikan jawaban terbaik, dan tentuya memuaskan.
"Misal begini, kenangan pertama kita belajar salat dengan Bapak tentu akan membuat kita kembali berpikir, bahwa Bapak adalah sosok yang sangat mulia. Bagaimana ia rela menghabiskan waktunya untuk mengajari kita dengan telaten. Alasannya hanya satu, agar kita selamat dunia-akhirat. Ya, begitulah kira-kira setiap Bapak memperlakukan anaknya," jawabmu dengan ekspresi setengah puas karena merasa aku sudah paham dengan contoh yang kamu berikan. Padahal sebenarnya tidak.
"Terus? Di mana titik relevansinya?" Tanyaku yang memang kadang-kadang secara spontan mengeluarkan kata-kata ilmiah.
Kemudian kau mengeluarkan buku dan pulpen. Bersiap menuliskan sesuatu di dalamnya. Dan aku, sudah memasang perhatian paling serius terhadap bukumu itu.
"Jika kenangan baik itu menghilang, maka orang yang berjasa di dalamnya juga akan turut menghilang. Jika ingatan tentang orang yang berjasa itu menghilang, maka orang yang dicuri kenangannya itu akan kehilangan rasa berterimakasih, rasa menghormati, bahkan mungkin akan berubah pada perkataan dan perbuatan yang semena-mena terhadap orang yang berjasa itu," tandasmu sambil mengakhiri peta konsep sederhana dalam buku itu.
Aku mulai paham. Dan, tak kupungkiri bahwa pikiranku juga membenarkan penjelasanmu itu. Penjelasan yang entah kau dapat dari mana. Dari hasil membaca buku kah? Dari hasil menonton TV kah? Atau jangan-jangan hanya dari hasil ngibul tanpa landasan yang kuat. Intinya, aku sudah mulai menerima jawabanmu itu.
"Apakah ada contoh yang lain?" Tanyaku mencoba mengeksplorasi hal-hal yang lain.
"Tentu sangat banyak sekali. Dan aku tidak mungkin menjelaskan semua itu padamu,"
"Kenapa?"