Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku-buku yang Berserakan

11 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 11 Agustus 2024   07:32 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.bramblefurniture.com

Tidak ada lagi yang berminat mengunjungi perpustakaan. Semua buku-buku di dalam perpustakaan hanya dijadikan pajangan belaka yang semakin lama semakin berdebu, rusak, lalu dibuang tanpa perasaan bersalah. Ada juga buku yang tidak sampai rusak, tapi malah hilang tanpa jejak. Semua itu terjadi di banyak tempat; sekolah, perguruan tinggi, Kabupaten, maupun ruang-ruang kecil lainnya yang tak tersentuh anggaran Negara.

Hal serupa terjadi di salah satu sekolah Negeri di daerah M yang perlahan-lahan sedang merencanakan penggusuran perpustakaan karena dianggap hanya menghabiskan banyak anggaran Negara. Tanpa memberikan efek positif yang bisa membawa Negara ini menjadi lebih maju. Begitu kata kebanyakan orang.

"Bagaimana kalau kita bersihkan saja buku-buku ini dari sini. Daripada hanya menjadi tempat sunyi tanpa makna. Mungkin lebih baik, tempat ini berubah menjadi tempat yang lebih menghasilkan. Koperasi atau mungkin supermarket misalnya," ujar Pak Zainur. Kepala sekolah yang sudah menjabat selama sepuluh tahun.

"Tunggu dulu, Pak. Kita tidak boleh mengambil tindakan tanpa pertimbangan yang matang," balas Pak Yadik. Seorang guru senior yang gemar membaca, menulis banyak hal, dan bertahan dengan segala kesederhanaan di tengah hedonisme masyarakat.

"Apalagi yang mau kamu pertimbangkan, Pak? Sudahlah, perihal posisimu nanti, akan kutempatkan di tempat yang layak dari sekadar penjaga perpustakaan. Bukannya kamu senang jika bisa mendapatkan lebih banyak uang dari sebuah pekerjaan?" Ucap Pak Zainur lalu menyunggingkan senyum.

Pak Yadik terdiam. Sebagai bawahan, ia tak bisa berbuat lebih. Apalagi jika boleh jujur, apa yang baru saja dikatakan oleh Pak Zainur ada benarnya juga. Ia membutuhkan lebih dari sekadar nominal gaji bulanan yang biasa ia terima dari bulan-bulan sebelumnya. Sebab, ia harus membayar banyak tagihan, membeli beragam aksesoris untuk calon anaknya, dan kebutuhan keluarga yang selalu saja membengkak.

Namun, dalam hati kecil Pak Yadik masih menyimpan resah dan rasa tidak setuju atas apa yang hendak dilakukan oleh atasannya. Memang, mencari uang adalah hal yang lumrah. Apalagi di zaman sekarang, semua jenis kebutuhan mengalami kenaikan harga, gaya hidup yang semakin modern, dan belum lagi tuntutan yang lain. Tapi bukankah masih banyak cara untuk meningkatkan pemasukan tanpa harus mengorbankan salah satu lahan pendidikan seperti perpustakaan?

Tak tahan dengan rasa gelisah itu, Pak Yadik akhirnya menyampaikan apa yang mengganggu isi kepalanya pada sang istri. Ia menceritakan dari awal bagaimana keadaan perpustakaan sekolah yang semakin ke sini semakin sepi pengunjung, buku-buku yang mulai berdebu, rusak, berserakan, lalu menghilang begitu saja tanpa ada satu orang pun yang mencari.

"Wadduh, kok bisa seperti itu ya, Pak? Padahal di masa kita dulu, buku sering dijadikan bahan diskusi dan bermain di banyak tempat," respon Sumiyati begitu selesai mendengarkan cerita dari suaminya.

"Entahlah, Dik. Mungkin ini dampak dari kemajuan teknologi. Anak-anak tidak lagi menyukai buku. Mereka lebih suka bermain gadjet, dan mungkin membaca beragam e-book dari sana," ucap Pak Yadik.

Sumiyati terdiam. Tatapannya menjangkau kawasan sekitar. Banyak hal berkelebat dalam pikirannya.

"Tapi kalau sekiranya itu bisa menjadikan pemasukan bulanan kita lebih banyak, mungkin lebih baik mengikuti arahan Kepala Sekolah saja, Pak," ujar sang istri.

"Loh, jadi kamu setuju kalau perpustakaan sekolah digusur, Dik? Ini aset masa depan anak-anak bangsa loh," tegas Pak Yadik.

"Ya mau bagaimana lagi, Pak. Wong anak-anak zaman sekarang sudah semakin alergi sama buku, dan keadaan ekonomi keluarga kita akhir-akhir ini semakin sulit," balas Sumiyati tidak mau kalah.

"Pasti ada jalan lain kalau untuk masalah ekonomi," Pak Yadik mencoba optimis.

"Semoga saja begitu," timpal sang istri.

Kemudian Pak Yadik berpindah tempat. Begitu pun dengan istrinya yang menuju ke dapur.

Kamar berukuran 3X3 itu berhasil sedikit menenangkan Pak Yadik. Di dalam sana, terdapat banyak buku yang dipajang di rak. Buku-buku itu Pak Yadik dapatkan dari berbagai arah. Ada yang dari hasil beli buku bulanan yang sudah menjadi tradisi, ada juga buku hasil pemberian para guru, dan tak kalah banyak adalah buku-buku yang Pak Yadik dapatkan dari hasil memulung di beberapa tempat; di teras sekolah, di jalan-jalan sempit pasar, dan di beberapa lubang bangunan. Buku-buku itu bukan hanya kehilangan pembaca, tapi juga kehilangan pemilik yang sudah menganggap buku tidak penting.

Pak Yadik memutar otak. Sebisa mungkin ia ingin mencegah niat Pak Zainur untuk menggusur perpustakaan. Karena kalau sudah begitu, buku-buku akan kehilangan rumah. Mereka akan berserakan begitu saja tanpa ada yang memperdulikan. Lalu karena dianggap sampah, maka eksekusi terakhir ada di tukang sampah untuk membersihkan.

Tidak. Pak Yadik tidak ingin hal itu terjadi. Buku harus tetap lestari dan ditempatkan di tempat yang layak dan terhormat. Sebab buku adalah ladang ilmu. Di dalamnya banyak tersimpan gagasan dan pengetahuan. Pengetahuan yang mungkin akan dimanfaatkan oleh generasi penerus untuk membawa Negara ini ke arah yang lebih baik. Ya, bukankah pendidikan adalah salah satu faktor penting dan paling berpengaruh dalam menciptakan peradaban dan perubahan yang lebih baik?

***

Pak Yadik berniat mengumpulkan massa. Namun sebelum itu, ia ingin membuktikan bahwa masih ada beberapa siswa yang peduli pada pada perpustakaan, pada buku-buku yang dihantam gadjet dengan segala kecanggihannya.

Pertama-tama, Pak Yadik memberikan pertanyaan seputar bagaimana pendapat siswa jika semisal perpustakaan sekolah ditiadakan. Jika dari sana, Pak Yadik berhasil mendapatkan jawaban yang diinginkan, maka langkah tersebut akan dilanjutkan pada sebuah konferensi, atau mungkin bisa berujung demo yang secara jelas menyuarakan eksistensi perpustakaan. Ya, kira-kira seperti itu bayangan yang terlintas dalam benak Pak Yadik.

Siswa pertama bernama Fairys. Ia adalah salah satu siswa jurusan IPS yang pintar dan berhasil bertahan menjadi bintang kelas selama tiga kali berturut-turut. Pak Yadik berpikiran, pasti yang tidak menginginkan penggusuran perpustakaan adalah orang-orang yang pintar, rajin, dan berprestasi. Namun sayang, Pak Yadik tidak berhasil mendapatkan jawaban yang diinginkan.

"Jika dirasa itu adalah yang terbaik, saya setuju-setuju saja, Pak. Toh, sekarang sudah ada banyak cara dalam belajar dan mencari refrensi. Seperti dari e-book, website, dan semacamnya," jawab Fairys.

Dalam hati, Pak Yadik membenarkan apa yang disampaikan Fairys. Tapi bukan itu yang Pak Yadik inginkan. Jika semua orang berpikiran demikian, maka tidak menutup kemungkinan semua jenis buku akan punah dari Negara ini.

Pak Yadik berpindah pada siswi yang bernama Amalia. Ia adalah salah satu siswi berprestasi yang sering menyabet juara olimpiade IPA tingkat Nasional. Seharusnya, siswi yang berprestasi adalah orang-orang yang masuk dalam kalangan mencintai dan menyayangi buku.

"Justru malah bagus, Pak. Nanti pemasukan sekolah akan tambah banyak. Mengingat sekolah kita ini sedang membutuhkan banyak perbaikan dan seringkali terkendala masalah dana," tegas Amalia.

Jleb. Pak Yadik mendapatkan sudut pandang yang berbeda. Memang, tidak salah jika para siswa dan siswi memperoteskan masalah sarana-prasarana. Banyak kamar mandi yang tidak bisa dipakai, plafon jebol, kekurangan kelas, cat tembok yang mengelupas, dan mungkin masih banyak yang lain. Entahlah, hal itu seharusnya menjadi perhatian khusus oleh pihak petinggi sekolah. Apalagi sudah menjadi rahasia umum di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

Pak Yadik hampir putus asa. Tapi ia masih ingin mencoba bertanya sekali lagi. Siapa tahu ada angin segar yang mampu menyejukkan hati dan pikirannya.

Siswa terakhir ditanyakan oleh Pak Yadik bernama Irfan. Meski tidak tergolong siswa yang berprestasi di kelas atau di luar kelas, tapi ia tergolong siswa yang kritis dan peka terhadap lingkungan. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya surat yang dikirim Irfan dalam kotak kritik dan saran yang disediakan oleh sekolah. Kadang kritik sarannya juga disampaikan dalam beberapa forum.

"Kalau penggusuran perpustakaan tidak terlalu bermasalah, Pak. Ada yang lebih penting dari itu," terangnya.

"Apa itu?" Tanya Pak Yadik penasaran.

Irfan tak langsung menjawab. Sejenak hening menyelimuti keduanya.

"Yang lebih penting adalah penanaman rasa cinta baca buku oleh seorang guru terhadap muridnya. Entah dengan cara yang bagaimana. Tapi yang jelas, jika itu sudah berhasil tertanam kuat dalam diri seseorang, maka tanpa perpustakaan pun, siswa dan siswi akan tetap membaca dari arah mana saja. Bisa jadi mereka mencari dan membeli buku di luar, membaca dari internet, bahkan mungkin membaca semesta raya," tandas Irfan.

Jawaban yang cukup bijaksana sekaligus mengkritik para guru yang sepertinya, belum melakukan itu. Tapi tetap saja, bukan jawaban itu yang Pak Yadik inginkan. Ia ingin mencari siswa dan siswi yang betul-betul serius menyayangi dan mencintai eksistensi buku di sekolah ini. Salah satunya ialah melalui adanya perpustakaan.

Pak Yadik memutuskan untuk pulang. Ia sudah pasrah dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Sekolah kemarin. Dan jika memang nantinya penggusuran itu mengakibatkan banyak buku yang berserakan, tanpa ada seorang pun yang berniat menolong dan merawat buku-buku itu, Pak Yadik siap kembali memungut buku-buku yang berserakan itu, menatanya di dalam kamar, bahkan membuka ruang baru di dalam rumah demi tertampungnya semua buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun