Aku berhenti tepat di depan indomaret sebelum memasuki area alun-alun Kota. Begitu banyak orang yang memadati alun-alun Kota dari berbagai sisi. Aku yang waktu itu hendak berangkat sekolah dengan semangat tingkat tinggi, dengan harapan suatu saat bisa menjadi pejabat pemerintah, akhirnya tergoda untuk berhenti saja dan melupakan sekolah.
"Ada apa, Mas? Kok orang-orang berkumpul di sini?" Tanyaku dengan rasa penasaran melebihi rasa ingin tahu seorang jurnalis yang sedang hunting berita.
"Kurang tahu ya, saya juga baru nyampek ini," jawab laki-laki berbaju hitam itu. Jika dilihat dari penampilannya, laki-laki itu adalah seorang mahasiswa angkatan tua yang tak kunjung lulus kuliah. Entah karena apa.
Orang-orang dari beragam kalangan semakin ramai memadati alun-alun Kota. Aku yang masih agak jauh dari titik pusat alun-alun, terus bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tidak seperti biasanya alun-alun Kota sampai sepadat ini. Setahuku, setelah tiga bulan pindah ke Kota ini, keramaian alun-alun hanya terjadi saat weekend saja. Terutama saat diadakan Car Free Day (CFD) di hari minggu. Dan, itu pun hanya terjadi di sisi barat alun-alun yang berdampingan dengan kantor Walikota. Selebihnya, masih banyak ruang untuk berpindah tempat, melakukan beragam aktivitas, dan menghirup udara segar yang dikeluarkan pohon-pohon besar di area alun-alun Kota.
Tapi tidak dengan saat ini. Sekarang alun-alun Kota berwajah menyeramkan yang siap membunuh siapa saja yang berani melanggar aturan Negara. Alun-alun Kota sudah tidak lagi menjadi ajang pacaran kaum muda yang biasanya duduk berduaan dengan durasi waktu yang sangat lama. Entah apa yang biasanya mereka bincangkan. Yang jelas, itu sempat membuatku muak setiap melintasi alun-alun Kota.
Aku terus bergerak maju. Membelah satu-persatu orang-orang yang memusatkan pandangan pada satu titik. Sebagian orang juga tampak berdesak-desakan ingin maju. Aku yang berpostur tubuh kurus dan pendek, lebih memilih momen kapan aku bisa maju agar lebih dekat dengan titik utama. Aku tidak mau mengorbankan tubuh ini untuk merasakan sakit hanya demi bisa maju lebih cepat dan menyaksikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Percakapan lintas arah masuk-keluar di telingaku. Sebagian dapat kudengar jelas, sebagian yang lain digulung angin hingga tak terdengar jelas. Entahlah, aku hanya berusaha menjaga kewarasan pikiran di tengah padatnya orang-orang dan cuaca yang semakin terik.
Aku semakin berkeringat. Sepeda pancal yang kubawa dari rumah, yang tadi kuparkir di samping indomaret, entah sudah bernasib seperti apa. Apakah tetap di posisi semula, apakah sudah bergeser tempat, atau jangan-jangan sudah digondol maling yang memanfaatkan momen ini untuk aksi pencurian. Aku sudah bodoh amat dengan semua itu. Fokusku hanya satu, menuju titik tengah alun-alun Kota yang sampai saat ini belum kuketahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Heh! Anak kecil nggak boleh ikut-ikut," ucap seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah samping kanan.
"Kenapa, Pak?" Tanyaku dengan nada lugu.
"Berbahaya!" Jawabnya yang kemudian langsung pergi.
Aku tidak mengerti dengan maksud Bapak itu. Pikirku sebelumnya, sedang berlangsung pertunjukan seni oleh salah satu komunitas seni yang menyita perhatian banyak orang. Jika tidak begitu, mungkin sedang datang pejabat pemerintah pusat yang menjalankan program kerja di tempat ini. Ya, hanya seputar itu yang melintas di kepalaku tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
***
Setelah melalui kesabaran tingkat tinggi, akhirnya aku berhasil mencapai posisi di baris kedua dari titik utama. Aku sudah bisa melihat dengan jelas titik sentral alun-alun Kota. Di sana, terdapat seseorang yang diikat di tiang hitam yang entah sejak kapan ada tiang di sana. Sayangnya, aku tidak bisa melihat jelas siapakah sosok itu. Hanya kedua tangan dan sebagian punggung yang berhasil kutangkap. Sementara itu, di sisi yang berbeda, orang-orang secara sembarangan melemparkan umpatan untuk orang yang diikat itu.
"Manusia tidak tahu diuntung!"
"Kamu pantas untuk mati!"
"Dasar pengkhianat rakyat!"
Melalui umpatan-umpatan tersebut, aku mulai menerka siapakah sosok yang sedang diikat di tiang hitam itu. Apalagi ada kalimat "Pengkhianat rakyat" yang secara jelas lebih mengarah kepada perwakilan rakyat yang biasa disebut pejabat. Bisa jadi orang itu adalah DPR, atau DPRD, atau DPD, atau apapun yang intinya bertugas mengurusi negara dan rakyat.
Satu pertanyaan telah terjawab. Kemudian timbul lagi pertanyaan terkait mengapa orang itu mendapatkan hukuman seberat itu. Adakah kesalahan besar yang telah ia lakukan pada Negara hingga harus dihukum sedemikian rupa? Pastinya begitu.
Aku sedikit bergeser ke kiri. Perlahan berusaha mendapatkan posisi yang pas untuk melihat wajah orang itu. Tapi ternyata, dari saking banyaknya warga yang berkumpul, bergeser dua meter saja adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Sungguh, kepadatan orang-orang yang begitu semangat menghukum satu orang itu layaknya rombongan mahasiswa yang turun ke jalan untuk menurunkan rezim Soeharto pada masanya. Membludak.
Hari semakin panas. Jam sudah menunjukkan jam setengah dua belas. Menurut informasi yang disampaikan oleh salah satu petugas, eksekusi mati akan dilaksanakan tepat pada pukul dua belas siang. Entah atas dasar apa keputusan itu diambil. Yang jelas, aku sudah terlanjur jauh mengikuti alur pembunuhan ini. Otomatis, minimal aku harus melihat siapakah sosok yang akan mati dalam petikan pistol itu.
"Kenapa orang itu mau dibunuh, Pak?" Tanyaku pada salah satu warga yang begitu semangat melontarkan umpatan.
"Orang itu telah menyengsarakan rakyat. Dia telah mengkorupsi uang negara yang jumlahnya bisa mensehahterakan seratus keluarga miskin. Bayangkan coba, jika satu koruptor bisa dibasmi demi menyelamatkan seratus keluarga, lantas berapa keluarga yang bisa kita selamatkan dari sekian koruptor yang masih berkeliaran? Jelas, tidak ada hukuman yang tepat bagi koruptor selain eksekusi mati!" Tegas bapak itu berapi-api.
Mendengar penjelasan Bapak itu, batinku membenarkan. Itulah salah satu sebabnya mengapa negara Indonesia tidak kunjung maju. Anggaran yang seharusnya dimaksimalkan untuk kesejahteraan bersama, dipindah-alihkan pada kesejahteraan pribadi atau golongan. Padahal secara ekonomi, para koruptor yang berasal dari kalangan wakil rakyat sudah mendapatkan fasilitas dan gaji yang layak. Lantas apa lagi yang mereka cari aktivitas korupsi?
Setelah itu, aku lanjut bergeser. Waktu menuju eksekusi mati tinggal lima belas menit lagi. Dan aku, yang kebetulan tadi pagi belum sarapan di rumah mulai merasakan nyeri di perut. Apalagi ditambah cuaca yang panas, situasi yang berdesakan, dan dilengapi ujaran kebencian yang membuat emosi naik dua kali lipat.
"Memang, awalnya ngasih janji manis. Tapi setelah diberikan kepercayaan oleh rakyat, malah menyengsarakan rakyat. Kan bangsat!" Ucap salah satu pemuda yang memakai almamater kampus.
Aku yang bercita-cita suatu saat nanti bisa menjadi pejabat seperti Ayah merasa tidak enak hati. Tapi kurasa, tidak semua pejabat melakukan korupsi. Pasti ada sebagian kecil yang bersih dari aksi suap-menyuap. Seperti Ayah misalnya. Selama ini, Ayah tak pernah menunjukkan gelagat koruptor layaknya pejabat lain yang bisa jadi konglomerat super cepat. Tentu sangat sedikit pejabat yang bisa bertahan seperti itu, Dan aku, bertekad untuk menjadi bagian dari sebagian kecil itu. Apapun resikonya.
Waktu tinggal tiga menit lagi. Keramaian warga semakin membludak. Dan aku semakin dekat dengan posisi yang bisa melihat wajah orang yang sedang diikat di tiang untuk dieksekusi mati. Spontan rasa penasaranku meningkat drastis. Siapakah sosok gerangan yang begitu malang itu? Harus mati sekaligus menanggung malu di hadapan banyak orang. Dimaki, dihina, dan diperlakukan tidak sebagaimana manusia.
Sampai pada satu menit terakhir, aku berhasil menangkap wajah orang itu. Wajah dengan jenggot dan kumis tipis, bermata lebar, alis tebal, dan senyum yang tak asing bagiku.
"Ayaaaaahhh!" Jeritku penuh histeris.
Ayah yang sudah berlumuran darah akibat menanggung sakit dari benda-benda yang dilempar warga ke wajahnya, sejenak melirikku. Ia tampak tak sanggup berkata-kata lagi. Hanya senyum tipis yang sempat terukir di bibirnya. Dan permohonan maaf yang kutangkap dari sembab matanya setelah mengeluarkan tangis. Hingga akhirnya suara "DOOR" dari pistol sang eksekutor menyelesaikan kisah hidup ayah dan memulai kesedihanku atas kehilangan seorang Ayah***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H