Suara sirine yang memekakkan telinga dan kilatan lampu rotator biru kini menjadi pemandangan yang akrab bagi para pengguna jalan di kota-kota besar Indonesia. Kehadirannya tidak lagi terbatas pada kendaraan darurat seperti ambulans dan mobil pemadam kebakaran.
Saat ini, simbol-simbol tersebut sering digunakan oleh kendaraan pengawalan yang mewakili pejabat pemerintah maupun pihak swasta. Dalam perkembangannya, sirine dan lampu rotator biru telah beralih fungsi dari alat utilitas menjadi simbol semiotik yang mencerminkan kekuasaan, urgensi, bahkan status eksklusif.
Makna Awal dan Pergeseran Simbol
Pada awalnya, sirine dan lampu biru diciptakan untuk memperingatkan masyarakat tentang situasi darurat. Mereka memberi ruang bagi tenaga medis, pemadam kebakaran, atau aparat penegak hukum untuk bertindak cepat demi menyelamatkan nyawa atau menjaga ketertiban. Namun, seiring waktu, simbol-simbol ini diadopsi oleh kalangan elite, termasuk politisi dan konglomerat, sering kali tanpa alasan yang sah. Hal ini menciptakan pergeseran makna.
Dalam teori Semiotika Ferdinand de Saussure, simbol ini awalnya bertindak sebagai penanda (signifier) dari keadaan darurat. Kini, ketika digunakan oleh kendaraan non-darurat, simbol tersebut menyiratkan otoritas dan privilese, yang secara implisit menyampaikan perintah kepada publik: "Minggir!"
Kekuasaan dan Ketimpangan Sosial
Penggunaan sirine dan lampu rotator biru oleh iring-iringan kendaraan elite mencerminkan ketimpangan sosial yang semakin nyata. Kilatan lampu biru yang menyilaukan dan suara sirine yang mendominasi jalan raya tidak sekadar meminta pengguna jalan untuk memberi jalan, tetapi juga menegaskan hierarki sosial.
Dalam konsep kekuasaan simbolik yang dikemukakan Pierre Bourdieu, dominasi ini tidak dipaksakan secara fisik, melainkan melalui pengaruh simbol-simbol yang menimbulkan rasa hormat, takut, atau jengkel di kalangan masyarakat.
Ungkapan populer "Minggir, Jelata!" yang muncul sebagai respons terhadap fenomena ini mencerminkan rasa frustrasi publik. Penyalahgunaan simbol-simbol tersebut dianggap sebagai bentuk arogansi kekuasaan, yang memperlihatkan bagaimana segelintir orang dapat memaksakan superioritas mereka atas rakyat biasa. Lebih jauh lagi, ungkapan ini menggarisbawahi kesadaran kolektif tentang adanya ketidakadilan struktural yang semakin lebar.
Pelanggaran Hukum dan Krisis Etika
Secara hukum, penggunaan sirine dan lampu rotator biru di Indonesia diatur secara ketat. Hanya kendaraan tertentu, seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan pejabat pemerintah yang sedang bertugas, yang berhak menggunakan simbol ini.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran sistemik. Banyak kendaraan pribadi atau pengawalan yang menggunakannya tanpa izin, yang pada akhirnya merusak supremasi hukum.
Praktik ini tidak hanya mengganggu ketertiban umum tetapi juga merongrong legitimasi hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik. Ketika simbol-simbol yang seharusnya menjadi alat untuk melayani masyarakat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, maknanya mengalami delegitimasi. Proses ini memperkuat rasa ketidakadilan di antara warga, terutama mereka yang merasa dirugikan oleh dominasi elite.
Solusi Keadilan untuk Ruang Publik
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama, penegakan hukum yang lebih tegas menjadi kunci utama. Pemerintah harus memastikan bahwa simbol-simbol ini hanya digunakan untuk keadaan darurat yang sah. Selain itu, sanksi tegas perlu diterapkan bagi pihak-pihak yang melanggar aturan.
Kedua, edukasi publik tentang fungsi dan tujuan sirine serta lampu biru dapat membantu mengembalikan makna aslinya. Kampanye kesadaran dapat membangun pemahaman kolektif dan meningkatkan penghormatan terhadap simbol-simbol ini sebagai alat yang dirancang untuk kepentingan bersama.
Terakhir, perubahan budaya yang menyamakan kekuasaan dengan privilese perlu digalakkan. Masyarakat harus menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka dan menolak praktik-praktik yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik.
Sirine dan lampu rotator biru bukan lagi sekadar alat utilitas; mereka telah menjadi simbol semiotik yang kuat dari kekuasaan dan privilese. Penyalahgunaan simbol-simbol ini oleh kalangan elite memperkuat ketimpangan sosial dan merusak keadilan dalam penggunaan ruang publik.
Namun, dengan penegakan aturan yang lebih ketat, edukasi yang tepat, serta perubahan pola pikir masyarakat, makna sejati simbol-simbol ini dapat dipulihkan. Langkah ini tidak hanya memulihkan ketertiban, tetapi juga menciptakan ruang publik yang lebih adil dan inklusif, di mana hierarki sosial yang tidak perlu dapat ditantang dan dihapuskan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI