Secara hukum, penggunaan sirine dan lampu rotator biru di Indonesia diatur secara ketat. Hanya kendaraan tertentu, seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan pejabat pemerintah yang sedang bertugas, yang berhak menggunakan simbol ini.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran sistemik. Banyak kendaraan pribadi atau pengawalan yang menggunakannya tanpa izin, yang pada akhirnya merusak supremasi hukum.
Praktik ini tidak hanya mengganggu ketertiban umum tetapi juga merongrong legitimasi hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik. Ketika simbol-simbol yang seharusnya menjadi alat untuk melayani masyarakat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, maknanya mengalami delegitimasi. Proses ini memperkuat rasa ketidakadilan di antara warga, terutama mereka yang merasa dirugikan oleh dominasi elite.
Solusi Keadilan untuk Ruang Publik
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama, penegakan hukum yang lebih tegas menjadi kunci utama. Pemerintah harus memastikan bahwa simbol-simbol ini hanya digunakan untuk keadaan darurat yang sah. Selain itu, sanksi tegas perlu diterapkan bagi pihak-pihak yang melanggar aturan.
Kedua, edukasi publik tentang fungsi dan tujuan sirine serta lampu biru dapat membantu mengembalikan makna aslinya. Kampanye kesadaran dapat membangun pemahaman kolektif dan meningkatkan penghormatan terhadap simbol-simbol ini sebagai alat yang dirancang untuk kepentingan bersama.
Terakhir, perubahan budaya yang menyamakan kekuasaan dengan privilese perlu digalakkan. Masyarakat harus menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka dan menolak praktik-praktik yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik.
Sirine dan lampu rotator biru bukan lagi sekadar alat utilitas; mereka telah menjadi simbol semiotik yang kuat dari kekuasaan dan privilese. Penyalahgunaan simbol-simbol ini oleh kalangan elite memperkuat ketimpangan sosial dan merusak keadilan dalam penggunaan ruang publik.
Namun, dengan penegakan aturan yang lebih ketat, edukasi yang tepat, serta perubahan pola pikir masyarakat, makna sejati simbol-simbol ini dapat dipulihkan. Langkah ini tidak hanya memulihkan ketertiban, tetapi juga menciptakan ruang publik yang lebih adil dan inklusif, di mana hierarki sosial yang tidak perlu dapat ditantang dan dihapuskan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H