Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Feodalisme Gelar dan Bahasa dalam Tinjauan Islam

11 Januari 2025   10:59 Diperbarui: 11 Januari 2025   10:59 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bing.com/images/search?view=detailV2&ccid=1ydD9HkK&id=A181D5CB8AD624B72C5173F32355ADF50F3C475D&thid=

Dalam konteks ini, "sahabat" merujuk pada hubungan yang setara dan saling mendukung. Tidak ada hierarki atau dominasi dalam interaksi antara Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Penggunaan sebutan "sahabat" juga menciptakan gambaran mental tentang ikatan persaudaraan yang lebih dekat dan saling menghargai, dan bukan hubungan yang menekankan ketergantungan atau inferioritas.

Sebaliknya, para sahabat menyebut Nabi Muhammad dengan panggilan "Rasul Allah" atau "Ya Rasulullh," yang menunjukkan kemuliaan dan peran beliau sebagai utusan Allah. Meskipun dengan keagungan akhlaknya (dijuluki Al-Amin) dan juga posisinya sebagai salah seorang cucu Abdul Mutholib, petinggi kaum Quraish Makkah, Nabi Muhammad sesungguhnya sangat layak menerima sebutan kehormatan yang bersifat "duniawi" dari umatnya. Misalnya,  sebutan "sayyid" atau dalam Bahasa Indonesia 'Tuan' atau 'Baginda".

Secara semantik-kognitif, sebutan "Rasul Allah" mengandung makna yang lebih dalam dan mulia dibandingkan dengan gelar kehormatan duniawi seperti "tuan" atau "sayid". Kata "Rasul" merujuk pada seorang utusan yang diberikan wahyu oleh Allah untuk menyampaikan petunjuk-Nya, sedangkan "Allah" mengacu pada Tuhan yang Maha Esa.

Kombinasi kedua kata ini mengonfirmasi peran Nabi Muhammad sebagai utusan Ilahi yang tidak hanya memiliki kedudukan tinggi, tetapi juga memiliki tanggung jawab suci dalam menyampaikan wahyu. Dalam konteks ini, penggunaan "Rasul Allah" menciptakan pemahaman kognitif bahwa gelar ini lebih mencerminkan peran spiritual dan misi kenabian, jauh dari tradisi feodalisme yang menekankan status sosial atau hierarki duniawi.

Dengan demikian, sebutan ini mengarahkan fokus pada kedekatan spiritual dan pengabdian, bukan pada pengagungan berlebihan terhadap individu. Bahkan kepada Nabi Muhammad yang merupakan seorang "warosatul ambiya" (pemimpin para nabi dan rosul) sekalipun.

Dalam rangka menunjukkan kesetaraan atau Al-Musawa, Islam juga melarang seseorang sengaja berdiri atau membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain. Larangan ini didasarkan pada prinsip tauhid dan kesetaraan manusia, serta bertujuan mencegah pengagungan berlebihan yang hanya pantas diberikan kepada Allah SWT.

Beberapa hadis Nabi Muhammad SAW menjadi rujukan dalam hal ini. Pertama, larangan membungkukkan badan dijelaskan dalam hadis dari Anas bin Malik r.a. Saat seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, apakah boleh seseorang dari kami membungkuk kepada saudaranya?" Rasulullah menjawab, "Tidak boleh." (HR. Tirmidzi, no. 2728). Hal ini menunjukkan bahwa membungkukkan badan menyerupai pengagungan yang tidak sesuai untuk manusia.

Kedua, Nabi juga melarang kebiasaan berdiri manakala seseorang sedang duduk-duduk hanya untuk menghormati seseorang secara berlebihan. Abu Umamah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang senang jika manusia berdiri untuk menghormatinya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk duduk di neraka." (HR. Abu Dawud, no. 5229). Larangan ini mengingatkan bahaya kesombongan yang bisa timbul dari model penghormatan berlebihan seperti itu.

Ketiga, Rasulullah sendiri mencontohkan sikap rendah hati. Anas bin Malik r.a. menjelaskan bahwa para sahabat tidak berdiri untuk menghormati Rasulullah, karena mereka tahu beliau tidak menyukainya (HR. Ahmad; Abu Dawud). Larangan ini menjaga kesucian tauhid, memupuk kerendahan hati, dan menghindari penghormatan fisik berlebihan. Penghormatan yang diajarkan Islam lebih kepada ucapan sopan, sikap hormat, dan tindakan baik.

Kemudian, khutbah Nabi Muhammad SAW saat Haji Wada menjadi puncak penegasan nilai-nilai kesetaraan yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW.  Seperti dalam  pidatonya, Nabi berkata:

"Wahai manusia, Tuhanmu hanyalah satu dan asalmu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Keturunan, warna kulit, bangsa tidak menyebabkan seseorang lebih baik dari yang lain. Orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa. Orang Arab tidak lebih mulia dari yang bukan Arab, sebaliknya orang bukan Arab tidak lebih mulia dari orang Arab. Begitu pula orang kulit berwarna dengan orang kulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dengan orang kulit berwarna, kecuali karena takwanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun