Feodalisme sebagai istilah, muncul di Eropa pada abad pertengahan. Meskipun demikian, praktik-praktik feodalisme mungkin telah dimulai sejak manusia membentuk masyarakat. Oleh karena itu fenomena feodalisme bersifat universal. Terjadi pada hampir semua bangsa dan peradaban di manapun pada berbagai belahan bumi ini.
Sebagai sistem sosial dan politik, feodalisme tidak hanya berusaha menentukan struktur kekuasaan dan kepemilikan atas kekayaan, tetapi juga membentuk cara masyarakat berkomunikasi. Dalam konteks feodalisme, komunikasi menjadi sarana untuk menegaskan dan mempertahankan hierarki sosial. Di sisi lain, berbagai sebutan kehormatan yang berkembang dalam feodalisme telah menciptakan eksklusivitas dalam bahasa, memisahkan individu berdasarkan status sosial mereka.
Sebutan-sebutan seperti "Yang Mulia" untuk hakim dan "Yang Terhormat" untuk anggota DPR/DPRD dalam pemerintahan kita sesungguhnya mencerminkan pengaruh hierarki sosial dari tradisi feodalisme yang masih tersisa. Meskipun dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan, istilah-istilah ini secara tidak langsung memperkuat jarak sosial antara pemegang jabatan dan masyarakat umum.
Dalam tradisi keagamaan di Indonesia, gelar-gelar kehormatan seperti "habib," "syarifah," "Gus," atau "Ning" juga menunjukkan warisan feodalisme. Mengapa? Karena gelar-gelar tersebut  tidak selalu dikaitkan dengan keilmuan, kesalehan, atau kontribusi individu, melainkan sering kali berdasarkan garis keturunan.
Gelar 'Habib' dan 'Syarifah' misalnya, Â melekat pada seseorang yang dianggap memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW, dari jalur putrinya, Fatimah. Sedangkan gelar 'Gus' dan 'Ning' gelar yang hanya diberikan kepada putra dan putri anak kiyai, khususnya di pulau Jawa. Oleh karena itu sempat ramai gugagatan terhadap gelar habib, karena penisbatan gelar tersebut dianggap tidak sesuai fakta Sejarah. Begitu juga pendakwah Miftah Habiburohman digugat ke-Gus-annya, karena faktanya dia bukan anak seorang kiyai.
Meskipun gelar-gelar ini memiliki akar tradisi dan budaya, namun dalam penggunaannya dapat menciptakan eksklusivitas dalam masyarakat. Dalam konteks Islam, hal ini berpotensi mengaburkan prinsip-prinsip egalitarianisme dalam Islam, yang menekankan bahwa keutamaan seseorang diukur berdasarkan ketakwaan, bukan status sosial atau keturunan.
Â
Islam Melawan Semua Bentuk FeodalismeÂ
Islam hadir sebagai antitesis dari feodalisme, menolak segala bentuk hierarki sosial berdasarkan keturunan, status, atau kekayaan. Semua bentuk sebutan hormat yang tidak didasarkan pada kualitas hidup, ilmu, dan kesadaran dianggap sebagai bagian dari tradisi feodal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Nabi Muhammad SAW memberikan teladan dalam menolak feodalisme ini. Beliau menyebut para pengikutnya dengan istilah "sahabat," bukan murid, pengikut, atau istilah lain yang mencerminkan superioritas. Secara semantik-kognitif, kata "sahabat" mengandung makna yang lebih egaliter dan inklusif dibandingkan dengan istilah seperti "murid" atau "pengikut".