Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelecehan oleh pendakwah Miftah: "Ngopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh"

20 Desember 2024   08:04 Diperbarui: 20 Desember 2024   08:10 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://infografis.okezone.com/detail/784001/gus-miftah-mundur-dari-utusan-khusus-presiden-prabowo

Bahasa Jawa, sebagai salah satu warisan budaya yang kaya di Indonesia, seringkali menyimpan medan semantik  mendalam di balik setiap ungkapannya. Ujaran-ujaran dalam bahasa ini tidak hanya memiliki makna literal, tetapi juga makna kontekstual yang sarat dengan nilai budaya dan norma sosial.

Salah satu ungkapan yang menarik untuk dikaji adalah "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh." Ungkapan ini mengundang banyak tafsir karena sifatnya yang ambigu dan potensi untuk digunakan dalam berbagai situasi sosial.

Dalam budaya Jawa, "kopi" kerap menjadi simbol kekuatan atau karakter seseorang, sementara "ngaji" mencerminkan kedalaman spiritual atau pengetahuan agama. Secara literal, "kopimu kurang kenthel" dapat diartikan sebagai kopi yang tidak pekat, dan "ngajimu kurang adoh" berarti mengaji yang tidak dilakukan dengan jarak atau upaya yang jauh.

Namun, makna idiomatik ungkapan tersebut jauh lebih luas. "Kopimu kurang kenthel" kerap dimaknai sebagai ketidakmatangan atau kurangnya keteguhan dalam pendirian seseorang. Sementara itu, "ngajimu kurang adoh" dapat mengacu pada minimnya usaha seseorang dalam memperdalam spiritualitas atau ilmu agama.

Ungkapan tersebut  sering digunakan untuk menyampaikan kritik secara halus. Dalam budaya Jawa, komunikasi umumnya menghindari konfrontasi langsung dan lebih memilih simbolisme atau metafora untuk menyampaikan pesan. Oleh karena itu, ungkapan tersebut juga  menjadi alat yang efektif untuk memberikan nasihat atau bahkan sindiran tanpa harus menimbulkan rasa tersinggung secara langsung.

Dimensi Semantik dan Pragmatik

Secara semantik, ungkapan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh." kaya  simbolisme yang mencerminkan nilai-nilai sosial masyarakat Jawa. Simbol "kopi" dan "ngaji" dalam ungkapan tersebut menggambarkan dua aspek penting kehidupan manusia: duniawi dan spiritual. Keduanya merupakan elemen yang dianggap perlu seimbang untuk mencapai harmoni hidup. Ungkapan itu  menyampaikan bahwa seseorang perlu memiliki kepribadian yang kokoh dan berupaya maksimal dalam aspek spiritual.

Pragmatik ungkapan itu, bagaimanapun, sangat bergantung pada konteks penggunaannya. Dalam percakapan informal, ujaran ini bisa menjadi candaan ringan atau kritik tersirat. Namun, dalam situasi formal seperti forum pengajian, maknanya dapat bergeser menjadi alat retorika untuk menyoroti kekurangan pihak tertentu. Inilah yang menjadi isu ketika ujaran ini digunakan oleh Miftah Habiburahman, seorang penceramah agama, dalam forum terbuka.

Kontroversial  Pendakwah Miftah

Dalam forum pengajian terbuka, pendakwah Miftah Habiburahman mengucapkan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh" sebagai komentar yang ditujukan kepada pemuka agama yang memiliki pandangan berbeda dengan dirinya. Ungkapan ini disampaikan dengan nada yang tampak bercanda, namun tidak dapat disangkal mengandung elemen pelecehan. Dalam konteks ini, Miftah seolah mempertanyakan keseriusan dan integritas pihak lain dalam memahami serta menyampaikan ajaran agama.

Respon audiens yang terbahak-bahak menegaskan adanya elemen hiburan dalam penyampaian ujaran tersebut. Namun, di balik tawa tersebut, ada pesan implisit yang menonjolkan superioritas pendakwah Miftah atas pihak yang disindirnya. Strategi ini, meski menghibur bagi sebagian besar audiens, menimbulkan kritik dari pihak lain. Ungkapan tersebut dianggap menyerang secara personal dengan cara yang tidak etis, terutama dalam konteks dakwah yang seharusnya mengedepankan persatuan dan saling menghormati.

Meskipun ungkapan ini mencerminkan kekayaan bahasa Jawa, penggunaannya dalam konteks seperti ini dapat menimbulkan masalah etika. Sebagai seorang pemuka agama, pendakwah Miftah Habiburahman memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan dakwah dengan cara yang membangun, bukan merendahkan pihak lain. Ketika ungkapan tersebut digunakan untuk menyerang pandangan berbeda, pesan moral yang ingin disampaikan justru berbalik menyerang dirinya. Kritik balik sering kali muncul dengan mempertanyakan, apakah justru dirinya yang "kopimu kurang kenthel. ngajimu kurang adoh" karena tidak mampu menjaga etika dalam berdakwah.

Refleksi dan Pelajaran

Ungkapan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh" menunjukkan betapa kaya dan kompleksnya bahasa Jawa dalam menyampaikan pesan. Namun, kekayaan ini perlu digunakan dengan bijaksana, terutama dalam situasi yang melibatkan publik. Penggunaan ungkapan ini untuk menyerang atau merendahkan pihak lain tidak hanya merusak hubungan sosial tetapi juga dapat mengurangi kredibilitas pengguna ujaran itu sendiri.

Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sopan santun, penting untuk memahami konteks dan dampak dari setiap ujaran. Ungkapan yang awalnya dimaksudkan untuk memberi nasihat atau sindiran ringan dapat berubah menjadi alat yang merugikan jika digunakan tanpa pertimbangan. Dalam kasus pendakwah Miftah Habiburahman, ujaran ini tidak hanya menjadi hiburan bagi audiens, tetapi juga menciptakan polarisasi yang seharusnya dihindari dalam forum dakwah.

Ungkapan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh" adalah contoh bagaimana bahasa dapat menjadi alat komunikasi yang kuat. Namun, kekuatan tersebut harus digunakan dengan penuh tanggung jawab. Ketika sebuah ungkapan digunakan dalam konteks yang tidak tepat, seperti menyerang pihak lain dalam forum terbuka, nilai budaya yang terkandung di dalamnya dapat kehilangan esensi. Dalam situasi ini, ungkapan tersebut seolah menjadi cermin bagi penggunanya sendiri, mempertanyakan apakah mereka benar-benar memenuhi standar yang mereka sampaikan. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi, khususnya dalam konteks dakwah, penting untuk mengutamakan kesopanan, empati, dan keharmonisan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun