Respon audiens yang terbahak-bahak menegaskan adanya elemen hiburan dalam penyampaian ujaran tersebut. Namun, di balik tawa tersebut, ada pesan implisit yang menonjolkan superioritas pendakwah Miftah atas pihak yang disindirnya. Strategi ini, meski menghibur bagi sebagian besar audiens, menimbulkan kritik dari pihak lain. Ungkapan tersebut dianggap menyerang secara personal dengan cara yang tidak etis, terutama dalam konteks dakwah yang seharusnya mengedepankan persatuan dan saling menghormati.
Meskipun ungkapan ini mencerminkan kekayaan bahasa Jawa, penggunaannya dalam konteks seperti ini dapat menimbulkan masalah etika. Sebagai seorang pemuka agama, pendakwah Miftah Habiburahman memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan dakwah dengan cara yang membangun, bukan merendahkan pihak lain. Ketika ungkapan tersebut digunakan untuk menyerang pandangan berbeda, pesan moral yang ingin disampaikan justru berbalik menyerang dirinya. Kritik balik sering kali muncul dengan mempertanyakan, apakah justru dirinya yang "kopimu kurang kenthel. ngajimu kurang adoh" karena tidak mampu menjaga etika dalam berdakwah.
Refleksi dan Pelajaran
Ungkapan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh" menunjukkan betapa kaya dan kompleksnya bahasa Jawa dalam menyampaikan pesan. Namun, kekayaan ini perlu digunakan dengan bijaksana, terutama dalam situasi yang melibatkan publik. Penggunaan ungkapan ini untuk menyerang atau merendahkan pihak lain tidak hanya merusak hubungan sosial tetapi juga dapat mengurangi kredibilitas pengguna ujaran itu sendiri.
Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sopan santun, penting untuk memahami konteks dan dampak dari setiap ujaran. Ungkapan yang awalnya dimaksudkan untuk memberi nasihat atau sindiran ringan dapat berubah menjadi alat yang merugikan jika digunakan tanpa pertimbangan. Dalam kasus pendakwah Miftah Habiburahman, ujaran ini tidak hanya menjadi hiburan bagi audiens, tetapi juga menciptakan polarisasi yang seharusnya dihindari dalam forum dakwah.
Ungkapan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh" adalah contoh bagaimana bahasa dapat menjadi alat komunikasi yang kuat. Namun, kekuatan tersebut harus digunakan dengan penuh tanggung jawab. Ketika sebuah ungkapan digunakan dalam konteks yang tidak tepat, seperti menyerang pihak lain dalam forum terbuka, nilai budaya yang terkandung di dalamnya dapat kehilangan esensi. Dalam situasi ini, ungkapan tersebut seolah menjadi cermin bagi penggunanya sendiri, mempertanyakan apakah mereka benar-benar memenuhi standar yang mereka sampaikan. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi, khususnya dalam konteks dakwah, penting untuk mengutamakan kesopanan, empati, dan keharmonisan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H