Pilkada serentak di Indonesia pada 2024 dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024. Artinya kurang dari satu bulan lagi digelarnya perhelatan nasional  pada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota serta akan diikuti sebanyak 1.553 pasangan calon, baik untuk gubernur, bupati, maupun wali kota.Â
Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.500 pasangan diusung oleh partai politik atau gabungan partai, sedangkan  53 pasangan lainnya maju secara independen.
Merujuk informasi Kompas.com, anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024.Â
Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat.
Meskipun demikian beberapa indikator menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap Pilkada serentak 2024 semakin menurun, dan terdapat kekhawatiran akan menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat melibatinya.Â
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh "Kawula17", sekitar 90% masyarakat menyadari pentingnya Pilkada, namun sebagian besar memilih hanya akan  menjadi "penonton pasif" daripada terlibat langsung di dalamnya, khususnya sebagai relawan.
Rendahnya tingkat aktivisme politik tersebut  sebagian besar disebabkan oleh apatisme masyarakat terhadap efektivitas suara mereka dan kurangnya pendidikan politik yang memadai.  Dalam portal "The Conversation", Hadar Nafis Gumay, seorang pengamat pemilu, menilai bahwa kebijakan sentralisasi politik melalui dominasi partai-partai besar di tingkat pusat menyebabkan Pilkada terasa sebagai formalitas belaka, tanpa dampak nyata bagi Masyarakat daerah.
Salah satu faktor yang diduga penyebabnya antara lain akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap sektor ekonomi kita yang semakin memburuk, Â tetapi banyak masyarakat tidak melihat pemerintahan baru Prabowo-Gibran mengambil langkah-langkah kongkret mengatasinya. Â
Meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), seperti pada kebangkrutan PT Sritex yang berdampak pada ribuan pekerja, turut memperburuk krisis ekonomi dan menurunkan daya beli masyarakat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat semakin fokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan harian daripada mengikuti kontestasi politik lokal Pilkada.
Faktor lainnya, banyak generasi muda yang menunjukkan rendahnya ketertarikan terhadap debat-debat publik antar calon kepala daerah misalnya, karena mereka cenderung skeptis terhadap relevansi Pilkada dalam mengatasi isu-isu keseharian, seperti kesempatan kerja dan pendidikan.Â
Survei oleh lembaga riset mencatat bahwa generasi muda kurang percaya bahwa politik lokal dapat memberikan solusi nyata bagi masalah mereka, yang turut menurunkan minat mereka untuk terlibat dalam Pilkada
Pandangan kritis masyarakat terhadap kabinet "gemuk" dalam pemerintahan Prabowo-Gibran juga menjadi faktor yang memengaruhi antusiasme terhadap Pilkada. Struktur kabinet yang besar dinilai membebani anggaran negara, dengan biaya operasional tinggi untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas.Â
Struktur ini juga dianggap menyulitkan koordinasi antar-sektor, yang memicu kekhawatiran publik terkait efektivitas pemerintah dalam mengelola anggaran di tengah situasi ekonomi sulit
Kontroversi seputar akun "Fufufafa," yang diduga terkait dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, juga menambah keraguan publik terhadap etika politik di kalangan elite. Meskipun Gibran menyangkal keterlibatannya, ketidakjelasan mengenai akun tersebut menimbulkan kecemasan masyarakat, yang memandang pemerintahan ini kurang menegakkan disiplin.Â
Sikap Prabowo yang terlihat mengabaikan kontroversi ini memicu skeptisisme lebih jauh, mengakibatkan apatisme terhadap Pilkada dan politik lokal secara umum.
Gabungan partai-partai besar seperti PKS, Nasdem, dan PKB yang secara pragmatis melabuhkan diri ke dalam "Koalisi Indonesia Maju" (KIM) setelah Pemilu 2024 semakin memperkuat persepsi publik bahwa Pilkada hanya formalitas dan sejatinya diabdikan untuk kepentingan elit partai.
 Dengan partai-partai besar di bawah satu koalisi besar, banyak pemilih merasa bahwa kepala daerah yang terpilih hanya akan mengikuti arahan pusat, sehingga tidak ada jaminan untuk perubahan di daerah. Kondisi ini membuat masyarakat merasa siapa pun yang terpilih sebagai gubernur, wali
Kondisi sebagaimana digambarkan di atas telah  membuat masyarakat semakin apatis terhadap perhelatan Pilkada, serta menilai bahwa kandidat yang menang akan tetap terikat pada kebijakan pusat. Kombinasi isu-isu ini---kabinet yang boros, krisis ekonomi, etika politik, dan sentralisasi kekuasaan partai--- juga telah memicu pesimisme masyarakat terhadap kemampuan Pilkada dalam membawa perubahan nyata bagi kehidupan sehari-hari.
Seperti bunyi tagline iklan minuman, "Apapun jenis makananya, minumanya merek tersebut". Pilkada? EGP. Ujar salah seorang mahasiswa saya. Hehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H