Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada Serentak 2024 dan Apatisme Masyarakat

31 Oktober 2024   06:50 Diperbarui: 31 Oktober 2024   14:13 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Survei oleh lembaga riset mencatat bahwa generasi muda kurang percaya bahwa politik lokal dapat memberikan solusi nyata bagi masalah mereka, yang turut menurunkan minat mereka untuk terlibat dalam Pilkada

Pandangan kritis masyarakat terhadap kabinet "gemuk" dalam pemerintahan Prabowo-Gibran juga menjadi faktor yang memengaruhi antusiasme terhadap Pilkada. Struktur kabinet yang besar dinilai membebani anggaran negara, dengan biaya operasional tinggi untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas. 

Struktur ini juga dianggap menyulitkan koordinasi antar-sektor, yang memicu kekhawatiran publik terkait efektivitas pemerintah dalam mengelola anggaran di tengah situasi ekonomi sulit

Kontroversi seputar akun "Fufufafa," yang diduga terkait dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, juga menambah keraguan publik terhadap etika politik di kalangan elite. Meskipun Gibran menyangkal keterlibatannya, ketidakjelasan mengenai akun tersebut menimbulkan kecemasan masyarakat, yang memandang pemerintahan ini kurang menegakkan disiplin. 

Sikap Prabowo yang terlihat mengabaikan kontroversi ini memicu skeptisisme lebih jauh, mengakibatkan apatisme terhadap Pilkada dan politik lokal secara umum.

Gabungan partai-partai besar seperti PKS, Nasdem, dan PKB yang secara pragmatis melabuhkan diri ke dalam "Koalisi Indonesia Maju" (KIM) setelah Pemilu 2024 semakin memperkuat persepsi publik bahwa Pilkada hanya formalitas dan sejatinya diabdikan untuk kepentingan elit partai.

 Dengan partai-partai besar di bawah satu koalisi besar, banyak pemilih merasa bahwa kepala daerah yang terpilih hanya akan mengikuti arahan pusat, sehingga tidak ada jaminan untuk perubahan di daerah. Kondisi ini membuat masyarakat merasa siapa pun yang terpilih sebagai gubernur, wali

Kondisi sebagaimana digambarkan di atas telah  membuat masyarakat semakin apatis terhadap perhelatan Pilkada, serta menilai bahwa kandidat yang menang akan tetap terikat pada kebijakan pusat. Kombinasi isu-isu ini---kabinet yang boros, krisis ekonomi, etika politik, dan sentralisasi kekuasaan partai--- juga telah memicu pesimisme masyarakat terhadap kemampuan Pilkada dalam membawa perubahan nyata bagi kehidupan sehari-hari.

Seperti bunyi tagline iklan minuman, "Apapun jenis makananya, minumanya merek tersebut". Pilkada? EGP. Ujar salah seorang mahasiswa saya. Hehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun