Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada Serentak 2024 dan Apatisme Masyarakat

31 Oktober 2024   06:50 Diperbarui: 31 Oktober 2024   14:13 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada serentak di Indonesia pada 2024 dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024. Artinya kurang dari satu bulan lagi digelarnya perhelatan nasional  pada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota serta akan diikuti sebanyak 1.553 pasangan calon, baik untuk gubernur, bupati, maupun wali kota. 

Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.500 pasangan diusung oleh partai politik atau gabungan partai, sedangkan  53 pasangan lainnya maju secara independen.

Merujuk informasi Kompas.com, anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. 

Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat.

Meskipun demikian beberapa indikator menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap Pilkada serentak 2024 semakin menurun, dan terdapat kekhawatiran akan menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat melibatinya. 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh "Kawula17", sekitar 90% masyarakat menyadari pentingnya Pilkada, namun sebagian besar memilih hanya akan  menjadi "penonton pasif" daripada terlibat langsung di dalamnya, khususnya sebagai relawan.

Rendahnya tingkat aktivisme politik tersebut  sebagian besar disebabkan oleh apatisme masyarakat terhadap efektivitas suara mereka dan kurangnya pendidikan politik yang memadai.  Dalam portal "The Conversation", Hadar Nafis Gumay, seorang pengamat pemilu, menilai bahwa kebijakan sentralisasi politik melalui dominasi partai-partai besar di tingkat pusat menyebabkan Pilkada terasa sebagai formalitas belaka, tanpa dampak nyata bagi Masyarakat daerah.

Salah satu faktor yang diduga penyebabnya antara lain akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap sektor ekonomi kita yang semakin memburuk,  tetapi banyak masyarakat tidak melihat pemerintahan baru Prabowo-Gibran mengambil langkah-langkah kongkret mengatasinya.  

Meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), seperti pada kebangkrutan PT Sritex yang berdampak pada ribuan pekerja, turut memperburuk krisis ekonomi dan menurunkan daya beli masyarakat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat semakin fokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan harian daripada mengikuti kontestasi politik lokal Pilkada.

Faktor lainnya, banyak generasi muda yang menunjukkan rendahnya ketertarikan terhadap debat-debat publik antar calon kepala daerah misalnya, karena mereka cenderung skeptis terhadap relevansi Pilkada dalam mengatasi isu-isu keseharian, seperti kesempatan kerja dan pendidikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun