Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Pengantar dalam Kongres Pemuda, Belanda ataukah Melayu?

26 Oktober 2024   21:00 Diperbarui: 26 Oktober 2024   21:11 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kalderanews.com/

Kongres Pemuda 1928 merupakan peristiwa penting dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia. Kongres ini melahirkan Sumpah Pemuda, yang menegaskan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. 

Meskipun demikian, terdapat perdebatan mengenai bahasa yang sebenarnya digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kongres tersebut. Beberapa pihak meyakini bahwa bahasa Belanda digunakan sebagai medium komunikasi, sementara yang lain berpendapat bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar utama.

Mereka yang berpendapat bahwa bahasa Belanda digunakan dalam Kongres Pemuda beralasan bahwa sebagian besar peserta kongres merupakan lulusan sekolah kolonial Belanda. 

Pada masa itu, pemerintah kolonial mendirikan berbagai sekolah dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, seperti HIS (Hollandsch-Inlandsche School) untuk anak-anak pribumi, ELS (Europese Lagere School) bagi anak-anak Eropa, serta MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP. 

Selain itu, terdapat HBS (Hogere Burgerschool) dan AMS (Algemene Middelbare School), sekolah menengah atas yang mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, baik di Hindia Belanda maupun Belanda. 

Ada juga Kweekschool, sekolah guru yang melatih para pengajar HIS dan ELS. Sekolah-sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya, dan lulusannya umumnya fasih berbahasa Belanda.

Bahasa Belanda kemudian menjadi simbol status sosial dan keintelektualan di kalangan terdidik pribumi. Banyak lulusan sekolah Belanda yang menggunakan bahasa ini sebagai sarana komunikasi sehari-hari, baik dalam konteks formal maupun informal. 

Penggunaan bahasa Belanda juga memberikan prestise sosial tertentu, karena menunjukkan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi. 

Dengan demikian, wajar jika bahasa Belanda digunakan dalam Kongres Pemuda karena peserta umumnya berasal dari kelompok elit yang menguasai bahasa tersebut dengan baik. Hal ini dianggap mempermudah komunikasi di antara mereka yang memiliki latar belakang pendidikan dan bahasa serupa.

Selain faktor pendidikan, penggunaan bahasa Belanda dalam kongres tersebut juga disebabkan oleh pengawasan ketat dari pemerintah kolonial terhadap aktivitas politik pribumi. 

Pemerintah Belanda memiliki aparat keamanan khusus yang bertugas mengawasi kegiatan politik di kalangan kaum pribumi untuk mencegah munculnya gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. 

Dalam konteks ini, menggunakan bahasa Belanda mungkin dianggap lebih aman oleh peserta kongres, karena penggunaan bahasa lokal seperti Melayu atau bahasa daerah lain dapat menimbulkan kecurigaan dari pihak kolonial. 

Bahasa Melayu bisa dianggap sebagai bentuk kode komunikasi yang mencerminkan perlawanan, sedangkan bahasa Belanda dianggap lebih netral dan tidak menimbulkan kecurigaan.

Dari perspektif sosiolinguistik, keberagaman etnis dan bahasa di antara peserta kongres juga menjadi alasan logis mengapa bahasa Belanda digunakan. Peserta kongres berasal dari berbagai daerah di Nusantara, seperti Jawa, Sunda, Minahasa, Bugis, Bali, dan lainnya. 

Setiap etnis memiliki bahasa daerah masing-masing, yang bisa menjadi hambatan dalam komunikasi apabila digunakan dalam forum kongres yang mengharuskan pemahaman bersama. 

Meskipun bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca di banyak wilayah Nusantara, tidak semua peserta kongres menguasainya dengan baik, terutama dalam konteks formal.

Bahasa Melayu memang telah lama menjadi bahasa pergaulan dan perdagangan, namun dalam lingkungan resmi dan akademis, terutama di kalangan non-Melayu, penggunaan bahasa ini mungkin belum cukup efektif untuk mengungkapkan gagasan, visi, dan strategi perjuangan. 

Para peserta dari luar Sumatra atau yang tidak memiliki latar belakang Melayu mungkin tidak terbiasa menggunakan bahasa Melayu secara formal. 

Selain itu, pada masa itu, ragam bahasa Melayu masih beragam, dan belum terdapat standar bahasa Melayu formal yang jelas. Dialek Melayu pasar yang lebih sederhana mungkin dianggap kurang cocok digunakan dalam forum intelektual seperti kongres pemuda.

Sebaliknya, bahasa Belanda menawarkan satu bentuk bahasa yang seragam dengan tata bahasa dan aturan yang sudah jelas. 

Hal ini memungkinkan para peserta kongres untuk mengekspresikan gagasan mereka dengan lebih efektif dan menghindari kesalahpahaman yang dapat terjadi akibat perbedaan dialek atau tingkat pemahaman bahasa di antara peserta. 

Dengan latar belakang tersebut, dari perspektif sosiolinguistik, penggunaan bahasa Belanda bisa dipandang sebagai solusi praktis untuk mengatasi kendala komunikasi di antara peserta kongres yang beragam.

Namun, di sisi lain, ada pandangan bahwa bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam Kongres Pemuda. Para pendukung pandangan ini berargumen bahwa bahasa Melayu merupakan cikal bakal bahasa Indonesia yang nantinya dipilih sebagai bahasa persatuan. 

Kongres Pemuda sendiri merupakan ajang untuk membahas identitas nasional dan cita-cita kemerdekaan. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang telah lama digunakan sebagai lingua franca di Nusantara dianggap paling sesuai untuk mengekspresikan semangat persatuan.

Lebih lanjut, hasil utama Kongres Pemuda, yaitu Sumpah Pemuda, menegaskan pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda ini berakar dari bahasa Melayu. 

Para pendukung bahasa Melayu melihat kongres sebagai kesempatan untuk mengurangi pengaruh kolonial dan memilih bahasa yang lebih mencerminkan identitas dan kedaulatan nasional. 

Penggunaan bahasa Melayu dipandang sebagai langkah konkret untuk melepaskan diri dari dominasi budaya Belanda dan membangun kesadaran nasional yang lebih inklusif.

Para pendukung juga berpendapat bahwa bahasa Belanda, sebagai bahasa penjajah, kurang sesuai digunakan dalam forum yang bertujuan mempersatukan bangsa. Sebaliknya, bahasa Melayu yang lebih merakyat dan dikenal luas di kalangan masyarakat lintas etnis, dinilai lebih relevan dan inklusif. 

Penggunaan bahasa Melayu di Kongres Pemuda dianggap mencerminkan semangat persatuan yang diinginkan dan membuka ruang yang lebih inklusif bagi semua peserta.

Meskipun alasan penggunaan bahasa Belanda cukup kuat, terutama karena faktor praktis dan latar belakang pendidikan peserta, dorongan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional semakin kuat pada Kongres Pemuda Kedua tahun 1928. 

Hasilnya, Sumpah Pemuda yang diikrarkan menjadi bukti komitmen para pemuda Indonesia untuk meninggalkan pengaruh kolonial dan memilih bahasa yang mampu mewakili identitas serta cita-cita kemerdekaan bangsa.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun