Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Semiotika Bunuh Diri di Jembatan Layang Cimindi

2 Juli 2024   12:12 Diperbarui: 2 Juli 2024   14:37 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Bandung Gempar Lihat Pria Gantung Diri dengan Mulut Terlakban di Flyover Cimindi - ERA.ID 

Konteks Sosial

Persepsi masyarakat Indonesia terhadap bunuh diri sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, agama, dan norma sosial yang berlaku. Mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama yang mengajarkan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang salah dan berdosa. Contohnya, dalam Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, bunuh diri dianggap sebagai dosa besar. Pandangan ini dapat menambah beban mental bagi individu yang merasa tertekan dan putus asa.

Bunuh diri sering kali dipandang negatif dan menjadi subjek stigma sosial. Korban dan keluarganya dapat dianggap lemah, tidak bertanggung jawab, atau mengalami gangguan mental yang parah. Stigma ini dapat menyebabkan keluarga korban merasa malu dan terisolasi, serta menghambat upaya mereka untuk mencari bantuan dan dukungan.

Kesadaran dan pemahaman tentang kesehatan mental masih terbatas di banyak kalangan masyarakat Indonesia. Bunuh diri sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan karakter daripada sebagai masalah kesehatan mental serius. Hal ini mengakibatkan kurangnya dukungan bagi individu yang mengalami krisis mental, yang pada akhirnya memperburuk kondisinya.

Respon terhadap individu yang mencoba bunuh diri dapat sangat bervariasi. Beberapa mendapat dukungan dari keluarga dan teman-teman untuk pulih, sementara yang lain menghadapi penolakan dan dijauhi oleh lingkungan sekitarnya. Variasi dalam respons ini menunjukkan perlunya pendidikan lebih lanjut tentang kesehatan mental di masyarakat.

Secara hukum, bunuh diri tidak dianggap sebagai kejahatan di Indonesia, namun upaya bunuh diri dapat menyebabkan seseorang dirujuk untuk mendapatkan perawatan kesehatan mental. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah mulai meningkatkan upaya untuk memberikan pendidikan dan layanan kesehatan mental kepada masyarakat, meskipun masih menghadapi berbagai tantangan.

Refleksi

 

Apapun motif dan alasanya fenomena bunuh diri digambarkan sebagai puncak gunung es, mengingat besarnya jumlah kasus yang tidak terlihat. Menurut WHO, setiap 40 detik ada satu orang yang melakukan bunuh diri, dengan total 800.000 orang meninggal setiap tahun. Bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di kalangan orang berusia 15-29 tahun pada 2019. Dampak bunuh diri sangat besar, mempengaruhi sekitar 135 orang di sekitar korban.

Di Indonesia, kasus bunuh diri mungkin lebih tinggi dari data resmi. Sebuah studi pada 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri bisa empat kali lipat dari data resmi. Data Sample Registry System (SRS) pada 2018 menunjukkan angka kematian bunuh diri sebesar 1,12 per 100.000 penduduk, atau sekitar 2.992 kematian. Menurut Polri, pada Januari-Oktober 2023 ada 971 kasus bunuh diri, melampaui angka 900 kasus pada 2022.

Atas dasar fakta-fakta tersebut pemerintah harus meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang kesehatan mental, memperkuat layanan dukungan psikologis dan akses ke perawatan mental, mengurangi stigma terkait bunuh diri, dan meningkatkan akurasi data serta pelaporan kasus bunuh diri. Selain itu, program intervensi dan pencegahan bunuh diri perlu diperluas dan diperkuat pada  seluruh lapisan masyarakat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun