Idul Fitri, sebuah momen yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, merupakan perayaan yang memiliki makna yang dalam. Kata-kata yang membentuk nama perayaan ini, "id" dan "fitri", berasal dari bahasa Arab dengan arti dan pengertian yang mencerminkan esensi dari perayaan ini.
Muasal Nama Idul Fitri
Kata 'id' () dalam bahasa Arab berasal dari kata 'aada -- ya'uudu'Â ( -- ) yang berarti kembali. Ini menunjukkan bahwa Idul Fitri adalah perayaan yang kembali terjadi setiap tahun, dimeriahkan dengan kegembiraan yang baru. Seperti yang dijelaskan oleh Ibnul A'rabi, seorang cendekiawan, "Hari Raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru."
Terkait dengan kata 'id' ini, terdapat pula keterkaitan dengan kata 'Al-Adah'Â () yang artinya 'tradisi'. Dalam bahasa Indonesia, kata ini diserap menjadi 'adat', yang merujuk pada kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang.
'Fitri' bukan 'Fitrah'
Meskipun pengucapannya hampir sama, 'fitri' dan 'fitrah' memiliki arti dan penggunaan yang berbeda. Kata 'fitri' berasal dari kata 'afthara -- yufthiru'( -- ) yang berarti 'berbuka' atau "" (fatoro) yang artinya 'makan pagi'.  Jadi, Idul Fitri sebenarnya secara semantik mengandung makna "kembali berbuka" atau "perayaan bersama-sama berbuka". Hal ini terkait dengan fakta bahwa di hari Idul Fitri, umat Islam diwajibkan untuk tidak berpuasa setelah menjalani 30 hari berpuasa di bulan Ramadhan.
Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Hari mulai berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah hari dimana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 Syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka."Â Hal ini menegaskan bahwa Idul Fitri adalah momen bersejarah di mana umat Islam merayakan berakhirnya ibadah puasa.
Namun, untuk memastikan bahwa semua orang dapat merasakan kebahagiaan tersebut, Rasulullah SAW juga mewajibkan "zakat fitrah". Zakat fitrah ini pada mulanya tidak dibayarkan dengan uang, melainkan dengan qt (makanan pokok). Mayoritas ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa zakat fitrah harus dibayarkan dengan makanan pokok, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma.
Makna yang Meluas
Idul Fitri memang bukan sekadar sebuah perayaan makan pagi, tetapi juga merupakan simbol dari kesatuan, kegembiraan, dan kedermawanan umat Islam dalam berbagi rezeki dengan sesama. Sebagai momen bersejarah dalam agama Islam, Idul Fitri mengajarkan nilai-nilai solidaritas, kepedulian, dan kebahagiaan yang hakiki kepada umat manusia.
Boleh jadi akibat pemaknaan yang kurang tepat tersebut menjadi pangkal mula mengapa ritual Idul Fitri dalam kantong memori umat Islam di negeri ini dipersepsi sebagai kegiatan budaya yang wajahnya seperti kita lihat saat ini; memunculkan terjadinya perpindahan manusia secara besar-besaran dari kota ke desa yang disebut mudik, tradisi sungkeman, tradisi halal bihalal dan sejenisnya.. Padahal andai saja pengartian Idul Fitri itu pada yang kedua , yakni 'kembali berbuka' mungkin persoalanya akan jauh lebih sederhana, dan kedatangan hari raya Idul Fitri tidak harus menjadi perhelatan budaya kolosal dan terkesan jor-joran. Pemahaman yang tepat mengenai makna dari Idul Fitri dapat membantu kita untuk merayakan perayaan tersebut dengan lebih bermakna dan sesuai dengan ajaran agama Islam.
Sebagai tambahan, penting juga untuk diingat bahwa perayaan Idul Fitri tidak hanya sekadar "kembali berbuka" secara harfiah, tetapi juga sebagai momen penting untuk merayakan kemenangan atas diri sendiri, dalam arti telah berhasil menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan dengan penuh kesabaran dan keimanan. Selain itu, Idul Fitri juga menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan sesama umat Muslim.
Memang, ada kemungkinan bahwa dalam seiring berjalannya waktu dan perubahan budaya, makna asli dari suatu perayaan sering kali dapat tercampur dengan elemen-elemen budaya lokal. Ini adalah hal yang wajar dalam dinamika kehidupan masyarakat. Namun, sebagai umat Islam, penting untuk tetap mengingat esensi sebenarnya dari perayaan tersebut dan menjaga agar nilai-nilai agama tidak tergerus oleh perubahan zaman.
Kita dapat memahami bahwa tradisi mudik, sungkeman, halal bihalal, dan sejenisnya, meskipun bisa menjadi bagian dari perayaan Idul Fitri yang turut mempererat hubungan sosial, sebaiknya tidak melupakan esensi utama dari perayaan ini. Sehingga, dengan menjaga pemahaman yang benar mengenai Idul Fitri, kita dapat merayakannya dengan penuh makna dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT serta sesama manusia. Semoga Idul Fitri tahun ini dan seterusnya memberikan kebahagiaan, keberkahan, dan ketakwaan bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI