Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Takjil War", antara Tradisi dan Komersialisasi

20 Maret 2024   12:22 Diperbarui: 20 Maret 2024   12:34 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bulan suci Ramadan, suasana pada  banyak kota di Indonesia dipenuhi dengan aroma wangi masakan yang menggoda, suara azan yang berkumandang, dan tentu saja, deretan penjual takjil yang menawarkan beragam hidangan manis. 

Fenomena ini dikenal dengan sebutan "takjil war", di mana penjual takjil berlomba-lomba menawarkan produk unik dan menarik untuk menarik perhatian pembeli. Namun, di balik kelezatan dan keramaian, fenomena ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan tentang nilai-nilai tradisional dan komersialisasi.

Takjil, sebagai hidangan ringan yang disajikan untuk berbuka puasa, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan kontemporer Ramadan di Indonesia. Awalnya, takjil disediakan oleh masyarakat secara mandiri di rumah masing-masing, dengan berbagai varian seperti kolak, es buah, kurma, dan lain-lain. Namun, dengan berkembangnya zaman dan semakin kompetitifnya industri kuliner, praktik "takjil war" menjadi semakin populer.

Pertama-tama, kita bisa melihat bahwa fenomena "takjil war" membawa dampak positif. Di satu sisi, hal ini menciptakan peluang ekonomi bagi banyak pedagang kecil. Ramadan menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh para penjual takjil karena peningkatan permintaan yang signifikan. Banyak pedagang kecil yang dapat meningkatkan pendapatannya selama bulan Ramadan ini, sehingga "takjil war" juga dapat dianggap sebagai ajang pemberdayaan ekonomi bagi mereka.

Dalam praktiknya, "takjil war"  tidak hanya menarik bagi umat Muslim, tetapi juga menarik bagi non-Muslim baik sebagai pembeli maupun pedagang. Dengan demikian, fenomena "takjil war" telah menjadi semacam tradisi lintas agama di Indonesia, di mana semua orang, terlepas dari latar belakang agama mereka, dapat menikmati berbagai macam takjil yang ditawarkan selama bulan Ramadan.

Bagi non-Muslim, ikut serta dalam "takjil war" bisa menjadi pengalaman budaya yang menarik. Mereka dapat mencicipi dan menikmati hidangan-hidangan khas Ramadan tanpa harus menjalankan puasa. 

Dalam momen  "takjil war" ini telah menawarkan beragam pilihan kuliner yang unik dan berbeda dari sehari-hari. Bagi non-Muslim, hal ini adalah kesempatan untuk mencoba makanan dan minuman tradisional Indonesia yang mungkin tidak mereka temui di tempat lain.  

Atmosfer "takjil war" yang ramai dan penuh warna juga telah menciptakan suasana yang menyenangkan dan penuh kebersamaan. Non-Muslim dapat merasakan bagian dari tradisi Ramadan dan ikut serta dalam kemeriahan tersebut.

Bagi pedagang non-Muslim, "takjil war" juga merupakan peluang ekonomi yang menjanjikan. Mereka dapat memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan penjualan dan pendapatan mereka dengan menawarkan takjil yang unik dan menarik. 

Harus diakui banyak pedagang non-Muslim yang memiliki keahlian dalam memasak hidangan-hidangan khas Ramadan. Mereka turut berkontribusi dalam meramaikan "takjil war" dengan menciptakan variasi baru dalam takjil yang mereka jual.

Melalui "takjil war", pedagang non-Muslim juga dapat belajar lebih banyak tentang kebudayaan dan tradisi Ramadan. Mereka bisa belajar tentang makna dan nilai-nilai di balik takjil, serta bagaimana cara merayakan bulan Ramadan secara lebih luas.  

Dengan demikian, "takjil war" tidak hanya menjadi fenomena yang melibatkan umat Muslim, tetapi juga memperluas cakupan kepada semua lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim. 

Kondisi ini mencerminkan keragaman budaya Indonesia yang kaya, di mana orang dari berbagai latar belakang agama dan budaya dapat bersatu dalam momen berbagi kebersamaan, kuliner, dan tradisi.

Namun, di sisi lain, "takjil war" juga membawa dampak yang perlu diperhatikan. Pertama, ada risiko komersialisasi yang berlebihan. Beberapa penjual mungkin lebih fokus pada aspek komersial, sehingga keaslian dan kualitas takjil bisa tergerus. 

Bahan-bahan berkualitas mungkin digantikan dengan bahan pengganti yang lebih murah, hanya untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Hal ini dapat merusak esensi dari takjil itu sendiri, yang seharusnya mengandung nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, dan keragaman budaya.

Kedua, aspek kesehatan juga perlu diperhatikan. Takjil umumnya mengandung gula dan bahan-bahan yang tinggi kalori. Dalam konteks "takjil war", di mana variasi dan kreativitas menjadi kunci penjualan, ada potensi konsumsi gula dan kalori yang berlebihan. Hal ini bisa menjadi perhatian, terutama mengingat masalah kesehatan seperti obesitas dan diabetes semakin meningkat di masyarakat.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena "takjil war" ini? Pertama-tama, sebagai konsumen, kita harus lebih bijak dalam memilih takjil yang kita konsumsi. Memilih takjil yang sehat dan memperhatikan kualitas bahan yang digunakan dapat menjadi langkah awal untuk mendukung praktik "takjil war" yang lebih bertanggung jawab.

Kedua, bagi penjual takjil, penting untuk tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam proses pembuatan dan penjualannya. Meskipun "takjil war" menawarkan persaingan yang ketat, tidak ada salahnya untuk tetap mengutamakan kualitas dan keaslian dalam setiap produk yang dijual.

Terakhir, sebagai masyarakat yang peduli akan keberlangsungan budaya dan tradisi, kita dapat mendukung praktik "takjil war" yang sehat dan berkelanjutan. Mendorong penjual untuk menggunakan bahan-bahan yang berkualitas dan mendukung produksi lokal dapat menjadi langkah positif untuk menjaga esensi dari "takjil war" tanpa mengorbankan nilai-nilai aslinya.

Dengan demikian, fenomena "takjil war" bisa menjadi momentum bagi kita untuk merenung tentang nilai-nilai tradisional, komersialisasi, dan kesehatan. Dalam merayakan Ramadan dan menikmati takjil, penting bagi kita untuk tetap menghormati nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, dan keberagaman budaya yang melekat dalam setiap hidangan yang kita santap. 

Juga fenomena ini semakin mengukuhkan kebersamaan kita sebagai bangsa serta meluruhkan sekat-sekat SARA antar umat beragama di tanah air tercinta. Semoga Ramadan dan "takjil war" dapat selalu menjadi momen yang memberkati bagi kita semua.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun