Di bulan suci Ramadan, suasana pada  banyak kota di Indonesia dipenuhi dengan aroma wangi masakan yang menggoda, suara azan yang berkumandang, dan tentu saja, deretan penjual takjil yang menawarkan beragam hidangan manis.Â
Fenomena ini dikenal dengan sebutan "takjil war", di mana penjual takjil berlomba-lomba menawarkan produk unik dan menarik untuk menarik perhatian pembeli. Namun, di balik kelezatan dan keramaian, fenomena ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan tentang nilai-nilai tradisional dan komersialisasi.
Takjil, sebagai hidangan ringan yang disajikan untuk berbuka puasa, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan kontemporer Ramadan di Indonesia. Awalnya, takjil disediakan oleh masyarakat secara mandiri di rumah masing-masing, dengan berbagai varian seperti kolak, es buah, kurma, dan lain-lain. Namun, dengan berkembangnya zaman dan semakin kompetitifnya industri kuliner, praktik "takjil war" menjadi semakin populer.
Pertama-tama, kita bisa melihat bahwa fenomena "takjil war" membawa dampak positif. Di satu sisi, hal ini menciptakan peluang ekonomi bagi banyak pedagang kecil. Ramadan menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh para penjual takjil karena peningkatan permintaan yang signifikan. Banyak pedagang kecil yang dapat meningkatkan pendapatannya selama bulan Ramadan ini, sehingga "takjil war" juga dapat dianggap sebagai ajang pemberdayaan ekonomi bagi mereka.
Dalam praktiknya, "takjil war" Â tidak hanya menarik bagi umat Muslim, tetapi juga menarik bagi non-Muslim baik sebagai pembeli maupun pedagang. Dengan demikian, fenomena "takjil war" telah menjadi semacam tradisi lintas agama di Indonesia, di mana semua orang, terlepas dari latar belakang agama mereka, dapat menikmati berbagai macam takjil yang ditawarkan selama bulan Ramadan.
Bagi non-Muslim, ikut serta dalam "takjil war" bisa menjadi pengalaman budaya yang menarik. Mereka dapat mencicipi dan menikmati hidangan-hidangan khas Ramadan tanpa harus menjalankan puasa.Â
Dalam momen  "takjil war" ini telah menawarkan beragam pilihan kuliner yang unik dan berbeda dari sehari-hari. Bagi non-Muslim, hal ini adalah kesempatan untuk mencoba makanan dan minuman tradisional Indonesia yang mungkin tidak mereka temui di tempat lain. Â
Atmosfer "takjil war" yang ramai dan penuh warna juga telah menciptakan suasana yang menyenangkan dan penuh kebersamaan. Non-Muslim dapat merasakan bagian dari tradisi Ramadan dan ikut serta dalam kemeriahan tersebut.
Bagi pedagang non-Muslim, "takjil war" juga merupakan peluang ekonomi yang menjanjikan. Mereka dapat memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan penjualan dan pendapatan mereka dengan menawarkan takjil yang unik dan menarik.Â
Harus diakui banyak pedagang non-Muslim yang memiliki keahlian dalam memasak hidangan-hidangan khas Ramadan. Mereka turut berkontribusi dalam meramaikan "takjil war" dengan menciptakan variasi baru dalam takjil yang mereka jual.