Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menakar Efek Desakan Moral-Etik dari Kampus

4 Februari 2024   11:03 Diperbarui: 5 Februari 2024   16:45 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga dan alumni Universitas Indonesia (UI) gelar deklarasi kebangsaan di Rotunda UI, Depok, Jumat (2/2/2024). (Foto: KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY) 

Sejak pekan pertama Februari 2024, sejumlah Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia, seperti UGM, UII, UI, dan Unand, telah menjadi pionir dalam memimpin desakan untuk menegakkan moral-etik dalam kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. 

Petisi dan manifesto yang digulirkan oleh sivitas akademika mencerminkan kekhawatiran mendalam atas terjadinya krisis demokrasi yang terus merajalela di tanah air,  khususnya menjelang Pemilu 2024 yang tinggal menunggu hari.

UGM, almamater Presiden Jokowi, mengawali desakan ini pada 31 Januari 2024, yang kemudian diikuti oleh perguruan tinggi prestisius lainnya seperti Unpad, Unhas, dan IPB pada 2 Februari 2024. Rencana aksi serupa juga akan dilakukan oleh UNSRI dan beberapa perguruan tinggi lain pada 5 Februari 2024 besok. 

Desakan-desakan tersebut secara tegas mengecam perilaku dan manuver politik rezim Jokowi yang dianggap melampaui batas hukum dan etika. 

Antara lain penggunaan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan politik pribadi, dugaan nepotisme dalam mendukung pasangan calon tertentu, dan penyalahgunaan kekuasaan birokrasi, keamanan, dan politik bantuan sosial. Semua ini dianggap sebagai strategi pemenangan paslon Capres nomor 2 (Prabowo-Gibran).

Sebagai penjaga etika dan moral, para intelektual perguruan tinggi tersebut menegaskan bahwa tindakan Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sudah tidak dapat ditolerir lagi. 

Para akademisi mengkritik keras praktik politik yang dianggap kotor dan tidak etis, sambil mengingatkan Presiden akan meluasnya keresahan publik menjelang Pemilu 2024. Seruan moral dan etika bukan hanya bentuk protes, melainkan juga kewajiban para akademisi terhadap masyarakat.

Namun, ada skeptisisme terhadap efektivitas seruan moral ini dalam memobilisasi seluruh lapisan masyarakat, apalagi hingga berpotensi mengarah pada gerakan "people power" di Indonesia. 

Beberapa faktor dapat menjelaskan skeptisisme tersebut, termasuk sejarah politik massa yang dinamis, tingginya politisasi dan politik uang menjelang pemilu, serta tingkat kesadaran politik masyarakat yang bervariasi.

Setakat ini,  presiden Joko Widodo dianggap memberikan respons yang sangat normatif terhadap manifesto dan seruan moral yang disampaikan oleh sivitas akademika  yang datang  secara bergelombang ini. 

Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana misalnya, menyatakan bahwa hal tersebut merupakan hak demokrasi, menegaskan bahwa dalam tahun politik dan menjelang pemilu, pertarungan opini adalah hal biasa. 

Namun, Ari mencurigai adanya upaya yang disengaja untuk mengorkestrasi narasi politik tertentu demi kepentingan elektoral. Sikap Jokowi dan stafnya ini dianggap sebagai tanda ketidakpedulian dan kurangnya kepekaan rezim terhadap kritik yang disampaikan oleh para akademisi.

Dalam konteks demokrasi, kebebasan berpendapat dan kritik perlu dihormati. Seruan moral dari sivitas akademika seharusnya menjadi panggilan bagi penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk mengembalikan demokrasi ke arah yang benar, adil, jujur, berintegritas, dan tidak memihak. 

Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada bagaimana semua pihak merespons seruan moral ini dengan bijak dan menghormati nilai-nilai demokrasi.

Mengapa Jokowi  Harus Mendengarkan Suara Kampus?

Seruan moral-etik yang berasal dari kalangan sivitas akademika, memiliki dampak yang signifikan pada tatanan demokrasi dan moralitas pemerintahan di Indonesia. 

Kepentingan Jokowi untuk merespons seruan tersebut dengan serius menjadi krusial, dan jika diabaikan, berpotensi membawa dampak negatif yang mendalam. Berikut adalah beberapa alasan mengapa penting untuk Jokowi mengindahkan seruan moral-etik dari kampus.

Pertama, kesadaran akan moral dan etika pemerintahan adalah fondasi utama untuk membangun dan menjaga legitimasi pemerintahan. 

Jika Jokowi mengabaikan seruan moral dari kampus, ini dapat merusak citra pemerintah di mata masyarakat. Legitimasi yang erosi dapat merugikan stabilitas dan kepercayaan masyarakat pada pemerintahannya.

Kedua, seruan moral-etik dari kampus mencerminkan kekhawatiran akan keseimbangan demokrasi yang semakin terancam. 

Jika pemerintah mengabaikan suara akademisi, ini dapat menggoyahkan prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti keadilan, kebebasan berpendapat, dan partisipasi warga negara.

Ketiga, perguruan tinggi adalah lembaga intelektual yang berperan penting dalam pembentukan generasi penerus dan pemikiran kritis. 

Mengabaikan seruan moral-etik dapat menciptakan ketegangan antara pemerintah dan dunia pendidikan, mengancam keharmonisan dan kerjasama yang seharusnya eksis.

Keempat, mengindahkan seruan moral-etik dapat menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan potensi konflik sosial. 

Pemahaman dan tanggapan yang bijak terhadap aspirasi masyarakat dapat menjadi langkah preventif untuk menjaga stabilitas sosial.

Dampak jika seruan moral-etik ini diabaikan dapat melibatkan situasi berikut. Pertama, terjadi peningkatan ketegangan sosial, antara lain dapat menciptakan ketegangan sosial dan memperdalam perpecahan di masyarakat, khususnya di tengah gejolak politik menjelang Pemilu.

Kedua, dapat merusak kepercayaan publik terhadap kepemimpinan, menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak mendengarkan suara masyarakat terdidik. 

Ketiga, jika aspirasi masyarakat kampus diabaikan, potensi untuk mobilisasi massa, termasuk gerakan "people power," dapat meningkat, membawa dampak serius terhadap stabilitas politik dan sosial.

Sebagai pemimpin negara, Jokowi memiliki tanggung jawab untuk mendengar dan merespons seruan moral-etik dari kalangan sivitas akademika dengan cara yang bijak dan konstruktif. 

Keterlibatan dan kerjasama dengan dunia kampus dapat menjadi langkah awal untuk memperkuat fondasi moral dan etika dalam pemerintahan, menjaga kestabilan, dan memastikan kelangsungan demokrasi di Indonesia.

Dengan demikian pula, jika Jokowi tidak merespons seruan moral-etik dari kampus, maka bukan hanya akan menjadi masalah politik sehari-hari, tetapi juga melibatkan pertimbangan serius terhadap keberlanjutan demokrasi, stabilitas sosial, dan integritas moral pemerintahan. 

Jokowi, sebagai pemimpin negara, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara sivitas akademika dihargai dan diperlakukan sebagai kontribusi berharga untuk masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. 

Jangan sampai demi kepentingan pribadi,  Jokowi mengorbankan masa depan negeri ini. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun