Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana misalnya, menyatakan bahwa hal tersebut merupakan hak demokrasi, menegaskan bahwa dalam tahun politik dan menjelang pemilu, pertarungan opini adalah hal biasa.Â
Namun, Ari mencurigai adanya upaya yang disengaja untuk mengorkestrasi narasi politik tertentu demi kepentingan elektoral. Sikap Jokowi dan stafnya ini dianggap sebagai tanda ketidakpedulian dan kurangnya kepekaan rezim terhadap kritik yang disampaikan oleh para akademisi.
Dalam konteks demokrasi, kebebasan berpendapat dan kritik perlu dihormati. Seruan moral dari sivitas akademika seharusnya menjadi panggilan bagi penyelenggara pemilu, pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk mengembalikan demokrasi ke arah yang benar, adil, jujur, berintegritas, dan tidak memihak.Â
Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada bagaimana semua pihak merespons seruan moral ini dengan bijak dan menghormati nilai-nilai demokrasi.
Mengapa Jokowi  Harus Mendengarkan Suara Kampus?
Seruan moral-etik yang berasal dari kalangan sivitas akademika, memiliki dampak yang signifikan pada tatanan demokrasi dan moralitas pemerintahan di Indonesia.Â
Kepentingan Jokowi untuk merespons seruan tersebut dengan serius menjadi krusial, dan jika diabaikan, berpotensi membawa dampak negatif yang mendalam. Berikut adalah beberapa alasan mengapa penting untuk Jokowi mengindahkan seruan moral-etik dari kampus.
Pertama, kesadaran akan moral dan etika pemerintahan adalah fondasi utama untuk membangun dan menjaga legitimasi pemerintahan.Â
Jika Jokowi mengabaikan seruan moral dari kampus, ini dapat merusak citra pemerintah di mata masyarakat. Legitimasi yang erosi dapat merugikan stabilitas dan kepercayaan masyarakat pada pemerintahannya.
Kedua, seruan moral-etik dari kampus mencerminkan kekhawatiran akan keseimbangan demokrasi yang semakin terancam.Â
Jika pemerintah mengabaikan suara akademisi, ini dapat menggoyahkan prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti keadilan, kebebasan berpendapat, dan partisipasi warga negara.