Seperti memiliki sepasang mata baru, semenjak aku lebih menerka kata-kata kusno, apa yang aku lihat tentang dunia menjadi sedikit lebih menantang. Â
Ini ungkin alasan kenapa kata-kata mu begitu digandrungi di masa lampau kus, tuturku didalam hati.
Berkilaunya kepribadian Kusno yang di masa lampau itu, masih sayup sayup terdengar di beberapa kalangan memang, banyak yang memujinya bak seorang kesatria gagah berani yang diidolakannya dahulu, yaitu Bhisma. Â
Memiliki tubuh yang kuat, Bhisma dilahirkan untuk melindungi para pandawa dari berbagai serangan musuh. Â Memang benar dia yang memperjuangkan dan melindungi segenap rakyat, dia, Kusno itu. Alangkah hebat petualangannya. Â
Sampai ada sedikit pertentangan yang kemudian muncul menamparku di suatu malam. Â Darimana munculnya sungguh tak terduga, dia seorang teman akrab, Arman namanya.
Ketika banyak yang meyakini sedari awal kalau memang Kusno lah yang akan memimpin rakyat kelak, hal itu sungguh berbeda dengan apa yang dialami oleh Arman temanku ini. Â Tak banyak yang mengenalnya, pun apa yang dia lakukan bisa dibilang hal yang remeh bagi orang-orang. Â Tapi dia mampu menjadikan sesuatunya itu sederhana dengan indah. Â
Aku kira dia adalah salah satu manusia dengan kejujuran dalam kata-katanya.Â
Hal ini agak berkebalikan dengan yang biasa dilakukan oleh Kusno. Â Sebagai perumpamaan, Arman temanku ini dengan mudah mengatakan bahwa berbagai hal yang dilakukannya adalah kesia-siaan belaka. Â
Yang kemudian dengan menjelaskan bagaimana kesia-siaan itu memang hal yang dia inginkan, dan merasa tidak pantas juga dia mendapatkan balasan, apa yang dia sampaikan seakan menjadi tamparan buatku.Â
Padahal apa yang disebutkannya sebagai kesia-siaan bisa jadi usaha yang labih serius untuk menelisik hidup. Â Tamparan itu sangat terasa, seperti menghina betapa muluk-muluknya kesia-siaanku.
Dari Kusno aku belajar tentang bagaimana makna dalam keidupan tidak akan pernah sampai tanpa terlebih dahulu kita merdeka, pikir yang merdeka, daripada menganggapnya sebuah kesia-siaan.