Mohon tunggu...
Khoiru Roja Insani
Khoiru Roja Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha produktif dalam keterbatasan

Pemuda asal Yogyakarta yang gemar ke sana-ke mari. Ajak saja pergi, pasti langsung tancap gas! Senang berdiskusi mengenai berbagai hal, senang bepergian, dan senang mengabadikan momen melalui kamera untuk diunggah di akun instagram. Ajak saja nongkrong atau bermain, pasti bisa mengenal lebih dekat lagi!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Pesona Mentari Terbit di Gunung Ireng

15 April 2021   05:59 Diperbarui: 15 April 2021   09:18 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain pantainya, Gunung Kidul menawarkan panorama keindahan alam lainnya. Salah satunya Gunung Ireng. Berada di daerah Srumbung, Pengkok, Kecamatan Patuk, Gunung Ireng menyajikan panorama mentari terbit yang sangat memanjakan mata.

Dari pusat kota, menuju Gunung Ireng hanya memerlukan waktu perjalanan kurang lebih satu jam. Melewati jalanan besar antar kabupaten Jogja-Gunung Kidul, kemudian melalui ke daerah pedesaan yang sangat sejuk, tidak butuh waktu lama untuk sampai di Gunung Ireng. Kita perlu berjalan menaiki beberapa tangga yang tak jauh untuk sampai di spot menikmati mentari terbit.

Gunung Ireng yang merupakan puncak tertinggi di kawasan Srumbung, Pengkok menyajikan udara sejuk dan diselimuti dengan kabut tipis. Ditambah lagi, mentari terbit dari Gunung Ireng sungguh mengelokkan. Semburat jingga yang muncul dari batas cakrawala, diiringi dengan kabut tipis makin mempercantik pesona Gunung Ireng.

Harga tiket masuk untuk menikmati panorama Gunung Ireng dibanderol Rp5.000 saja. Harga ini terbilang sangat murah untuk keindahan yang disajikan oleh Gunung Ireng.

Setelah dimanjakan dengan mentari jingga yang elok dipandang, Gunung Ireng tak habis sampai di situ, lepas matahari sedikit meningi, kabut pun juga ikut naik ke atas. Sehingga, seakan-akan kita yang berada di Gunung Ireng layaknya sebuah negeri di atas awan.

Siluet melawan matahari yang disajikan Gunung Iren pun terasa sempurna. Tak sedikit pun mengecewakan. Bentuk bayangan objek sungguh terpampang gelap sempurna dan nyata bentuknya. Ditambah lagi, matahari utuh berwarna jingga sungguh membuat takjub bukan kepalang.

Siluet Gunung Ireng (dokpri)
Siluet Gunung Ireng (dokpri)
"Gunung Ireng memang cocok sekali, Mas untuk nyunrise. Batu-batuan yang khas, ditambah ada gubuk kecil yang bisa jadi point of interest jadi ciri khas sendiri" ungkap Azka, salah satu pencinta fotografi landscape yang sedang mencari konten ke Gunung Ireng.

 "Saya tadi berangkat dari Deresan, rumah saya, jam 3. Ya, namanya kalau mau foto bagus harus ada perjuangannya" pungkasnya.

Perjuangan-perjuangan seperti bangun di dini hari, menembus gelapnya malam, dan melalui jalan yang bergelombang sudah menjadi suatu hal wajar yang harus diperjuangkan demi panorama keindahan yang ditawarkan Gunung Ireng.  

Nama Gunung Ireng sendiri tercetus sebab bebatuan yang ada di puncak berwarna hitam. Dalam bahasa jawa, "ireng" artinya "hitam" kemudian karena panorama yang disajikan layaknya berada di atas puncak gunung, maka dari itu tempat wisata yang sangat indah ini diberi nama Gunung Ireng.

Gemuruh angin yang menusuk badan hingga menyebabkan semilir dingin menembus tulang, kabut tipis yang makin matahari meninggi turut serta meninggi, dan terpaan sinar matahari mengenai kulit terasa hangat menjadi pelengkap ketika berkunjung di Gunung Ireng.

Akan tetapi, di masa pandemi seperti ini wisata pun tidak sedikit yang mengalami perubahan. Terutama mengenai kuantitas peserta dan "pernak-pernik" protokol kesehatan yang harus disiapkan.

"Nggih ngoten niku, Mas. Covid marakke sing do mriki sitik. Mboten tentu. Nek riyin, saben dinten ngoten onten sing mriki. Ha sakniki, pirang-pirang dino nek mboten preinan mawon mboten onten sing mriki." Ya kaya gitu, Mas. Covid membuat yang ke sini (Gunung Ireng) sedikit. Jadi tidak tentu. Kalau dulu (sebelum pandemi), setiap hari pasti ada yang ke sini. Lha sekarang, sudah beberapa hari kalau tidak hari libur, gaada yang ke sini. Ujar Yanto, salah satu penjaga di Gunung Ireng.  

Demi menerapkan protokol kesehatan, Gunung Ireng menyediakan lima buah tempat cuci tangan beserta dengan sabunnya. Ketika hendak menaiki tangga menuju spot menikmati sunrise pun, kita diwajibkan untuk cek suhu terlebih dahulu. Tulisan-tulisan untuk tetap menggunakan masker dan menjaga jarak pun tersebar di tempat-tempat strategis.

Selain menyedikan lima buah tempat cuci tangan, cek suhu, dan tulisan imbauan penerapan protokol kesehatan, pengelola Gunung Ireng pun juga mengatur jalur tangga untuk naik dan turun. Dengan panah yang tertempel rapi di bagian tangga, pengunjung diatur sedemikian rupa untuk menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan anjuran pemerintah.

Fasilitas yang ada di Gunung Ireng pun terbilang sangat lengkap, Gunung Ireng difasilitasi dengan musala, toilet, area parkir yang luas, gazebo, hingga warung makan.

Wisata di masa pandemi yang sempat turun drastis, kini lambat laun mulai memunculkan kembali tajinya. Tak hanya manusia, tempat wisata pun juga harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini.

"Nggih, pancen kudu berubah, Mas. Nek mboten, cah-cah mangke do kelangan pemasukan e, wong niki Gunung Ireng kan dikelola warga, nggeh dados gelem ra gelem kedah manut kalih seng teng duwur. Wong kulo niki nggeh namung tiyang alit. Nggih, kulo kaliyan cah-cah saged e nyediakke sak onten e, kados nggen cucian asto, thermo gun niki, kalih plang-plang ngoten. Nek mboten ngoten niki, nggeh mboten saged buka tenanan e, Mas" Ya, memang harus mengikuti perubahan, Mas. Kalau tidak (berubah) anak-anak (warga) nanti kehilangan pemasukan, soalnya ini (Gunung Ireng) dikelola oleh warga, jadi mau tidak mau ya harus tunduk patuh dengan yang di atas (pemerintah). Toh, saya juga cuma orang kecil (bawahan). Ya, saya sama yang lainnya hanya bisa menyediakan seadanya, sepeti tempat cuci tangan, thermo gun, dan papan-papan imbauan. Kalau tidak (berubah) seperti ini, tidak bisa buka betulan ini tempat wisatanya. Ujar Yanto.

Tak bisa dipungkiri, pariwisata memang menjadi salah satu pemasukan negara yang tidak terbilang kecil. Maka dari itu, tak jarang kita lihat promosi pariwisata dilakukan gencar-gencarnya oleh pemerintah. Tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan berupa 3M dan surat sakti rapid/swab/genose, sudah dapat melancong ke berbagai destinasi.

Tentunya perubahan-perubahan yang kita alami harus diyakini sebagai sebuah proses kehidupan yang memang harus dilakukan. Seperti ujar Yanto, salah satu pengelola Gunung Ireng, ia mengatakan kalau Gunung Ireng tidak melakukan perubahan seperti menyediakan tempat cuci tangan dan adanya cek suhu, bisa jadi Gunung Ireng tidak dibuka untuk wisatawan umum sampai sekarang.

Begitu juga dengan kita, sebagai manusia yang memang diciptakan untuk terus berubah dari hari demi hari, harus bisa beradaptasi dengan kondisi yang tidak pernah terbayangkan satu kali pun seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun