Akan tetapi, di masa pandemi seperti ini wisata pun tidak sedikit yang mengalami perubahan. Terutama mengenai kuantitas peserta dan "pernak-pernik" protokol kesehatan yang harus disiapkan.
"Nggih ngoten niku, Mas. Covid marakke sing do mriki sitik. Mboten tentu. Nek riyin, saben dinten ngoten onten sing mriki. Ha sakniki, pirang-pirang dino nek mboten preinan mawon mboten onten sing mriki." Ya kaya gitu, Mas. Covid membuat yang ke sini (Gunung Ireng) sedikit. Jadi tidak tentu. Kalau dulu (sebelum pandemi), setiap hari pasti ada yang ke sini. Lha sekarang, sudah beberapa hari kalau tidak hari libur, gaada yang ke sini. Ujar Yanto, salah satu penjaga di Gunung Ireng. Â
Demi menerapkan protokol kesehatan, Gunung Ireng menyediakan lima buah tempat cuci tangan beserta dengan sabunnya. Ketika hendak menaiki tangga menuju spot menikmati sunrise pun, kita diwajibkan untuk cek suhu terlebih dahulu. Tulisan-tulisan untuk tetap menggunakan masker dan menjaga jarak pun tersebar di tempat-tempat strategis.
Selain menyedikan lima buah tempat cuci tangan, cek suhu, dan tulisan imbauan penerapan protokol kesehatan, pengelola Gunung Ireng pun juga mengatur jalur tangga untuk naik dan turun. Dengan panah yang tertempel rapi di bagian tangga, pengunjung diatur sedemikian rupa untuk menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan anjuran pemerintah.
Fasilitas yang ada di Gunung Ireng pun terbilang sangat lengkap, Gunung Ireng difasilitasi dengan musala, toilet, area parkir yang luas, gazebo, hingga warung makan.
Wisata di masa pandemi yang sempat turun drastis, kini lambat laun mulai memunculkan kembali tajinya. Tak hanya manusia, tempat wisata pun juga harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini.
"Nggih, pancen kudu berubah, Mas. Nek mboten, cah-cah mangke do kelangan pemasukan e, wong niki Gunung Ireng kan dikelola warga, nggeh dados gelem ra gelem kedah manut kalih seng teng duwur. Wong kulo niki nggeh namung tiyang alit. Nggih, kulo kaliyan cah-cah saged e nyediakke sak onten e, kados nggen cucian asto, thermo gun niki, kalih plang-plang ngoten. Nek mboten ngoten niki, nggeh mboten saged buka tenanan e, Mas" Ya, memang harus mengikuti perubahan, Mas. Kalau tidak (berubah) anak-anak (warga) nanti kehilangan pemasukan, soalnya ini (Gunung Ireng) dikelola oleh warga, jadi mau tidak mau ya harus tunduk patuh dengan yang di atas (pemerintah). Toh, saya juga cuma orang kecil (bawahan). Ya, saya sama yang lainnya hanya bisa menyediakan seadanya, sepeti tempat cuci tangan, thermo gun, dan papan-papan imbauan. Kalau tidak (berubah) seperti ini, tidak bisa buka betulan ini tempat wisatanya. Ujar Yanto.
Tak bisa dipungkiri, pariwisata memang menjadi salah satu pemasukan negara yang tidak terbilang kecil. Maka dari itu, tak jarang kita lihat promosi pariwisata dilakukan gencar-gencarnya oleh pemerintah. Tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan berupa 3M dan surat sakti rapid/swab/genose, sudah dapat melancong ke berbagai destinasi.
Tentunya perubahan-perubahan yang kita alami harus diyakini sebagai sebuah proses kehidupan yang memang harus dilakukan. Seperti ujar Yanto, salah satu pengelola Gunung Ireng, ia mengatakan kalau Gunung Ireng tidak melakukan perubahan seperti menyediakan tempat cuci tangan dan adanya cek suhu, bisa jadi Gunung Ireng tidak dibuka untuk wisatawan umum sampai sekarang.
Begitu juga dengan kita, sebagai manusia yang memang diciptakan untuk terus berubah dari hari demi hari, harus bisa beradaptasi dengan kondisi yang tidak pernah terbayangkan satu kali pun seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H