Aku melihatnya duduk di sana. Dalam kegelapan malam, dinaungi langit bertabur bintang dan cahaya bulan yang redup. Dia duduk bersandar di tiang teras rumahnya, kepalanya menunduk, seperti mencari cari sesuatu yang hilang. Kemudian ia menatap langit, tatapan matanya kosong..begitu dingin, sedingin salju yang jatuh malam itu. Matanya menunjukkan kesedihan yang teramat dalam.
Pagi itu, ia terbangun dari tempat tidurnya, “Hari ini begitu hangat,” ia mengatakannya sambil tersenyum manis di depan kaca di tengah dinginnya bulan desember. “Yeaay.. akhirnya hari ini tiba, aku benar-benar menantikan hari ini, aku akan berlibur bersama teman-temanku, aku sangat senang.”
Dengan memakai jaket hitam tebal dan berbulu banyak, bersepatu boots hitam nan modis, rambutnya yang panjang dan bergelombang dikuncir dua menggunakan pita hitam polkadot yang lucu, kepalanya dihiasi headphone hitam berbulu putih, dan di lehernya terkalung syal hitam yang juga tebal. Ia berjalan menyusuri jalan setapak sambil mendengarkan musik. Kakinya bergerak cepat ke stasiun tempat ia dan teman-temannya akan berkumpul.
Ia berlari kecil, teman-temannya telah terlihat, ia berencana untuk menyapa mereka, “hai teman-teman” ia ingin mengatakannya dengan lantang, tapi bibirnya kelu, entah kenapa. Berjalan lagi, ia mencapai teman-temannya, yang satu adalah cewek berbody tinggi dan langsing berambut lurus panjang, yang satunya lagi cewek berpenampilan tomboy, ia menyapa dengan semangat, “hai..selamat pagi kalian.” Si rambut lurus balik membalas, “hai, selamat pagi,” dan si tomboy hanya melambaikan tangannya.
Mereka menaiki kereta bersama-sama, kursinya terbagi dua sisi, dua bangku sisi kanan dan tiga bangku di sisi kiri. Ia mengambil duduk di tiga bangku, tapi dua temannya memilih di dua bangku. Sepanjang perjalanan, ia duduk sendiri. Sendirian di bangku berkursi tiga.
“Kita telah sampai di tempat tujuan, seluruh penumpang diharap turun,” speaker milik kereta berkicau ria. Manusia-manusia yang ada di dalamnya berhamburan keluar. Tidak seperti semut, mereka tidak berbaris rapi, saling bertabrakan, berdesak desakan, dan berantakan. Dia masih duduk terdiam, melihat manusia di sekelilingnya. Kedua temannya sudah pergi terlebih dahulu. Ia mulai merasa aneh, seperti hanya sepi sendirian dengan dikelilingi lingkungan berwarna abu-abu dan hitam, suara disekelilingnya terasa jauh, berdengung dengung, hampa.
Ia memejamkan matanya , berusaha menenangkan jiwanya, lalu ia berkata, “Aku baik baik saja.” Kedua sepatu bootsnya mulai melangkah ke luar pintu kereta. Kedua temannya terlihat datang dari jauh, di tangan mereka membawa minuman dan makanan, bercanda gurau, menghampirinya, dan, “hai..” mereka mengatakannya dengan nada santai. Ia hanya tersenyum, “ayo pergi,” mereka berdua berjalan di depan, dan ia memegang lengan tas ranselnya dibelakang kedua temannya. Ia sendiri.
Dalam hatinya ia berkata, “ apa benar aku punya seseorang yang disebut teman?” ia berjalan di belakang kedua temannya, kepalanya menunduk. Mau kemana dia pergi?? Aku bertanya tanya. “Apa kau tahu mau kemana kita?” tanya si cewek tomboy padanya, “Baiklah jika kau memaksa akan aku beri tahu,” cewek berambut panjang lurus menyahut, “kita akan pergi ke festival es, mendaki gunung yang penuh dengan pohon cemara yang sangat besar,” lengkap cewek itu. “Apa kita bisa melihat langit malam hari?” tanya ia, “Tentu saja, dan juga nanti akan ada es turun dari langit, berkilau seperti Kristal, menurut ramalan cuaca langit juga akan sangat terang dan juga banyak bintang, juga ada cahaya putih bundar berada di tengah tengahnya. Aku ingin melihatnya merasakan kebahagian ketika melihat langit malam hari.
Mereka bertiga menaiki taksi biru menuju tempat festival es itu.Kemudian mereka sampai. Festival belum dimulai, tetapi sudah banya kedai-kedai makanan berbaris di sekeliling festival. “Apa kalian mau membeli jajanan?” tanyanya pada kedua temannya, cewek berambut lurus menengok keaahnya, “hmm?? Baiklah, aku juga lapar. Hey ayo kita membeli makanan,” tanya cewek itu ke cewek tomboy. Kedua temannya itu kemudian berjalan menuju salah satu kedai. “hey! Bisakah kalian menungguku?!” tanyanya mulai berbicara dengan nada sedikit lebih tinggi daripada sebelumnya. Kedua temannya lari, menuju kedai. Ia menunduk, tangannya mengepal, beberapa detik, kemudian lemas, ia menghela nafas dengan berat, menimbulkan uap dalam udara yang dingin. Sepatu bootnya menimbulkan jejak.
Duduk di samping kedua temannya, duduk terpisah satu bangku. Ia duduk di samping tembok kedai dantas ransel temannya yang diletakkan di atas kursi. Ia masi menunduk, lalu terbangun menatapkan matanya ke depan. Mereka bertiga menunggu sekitar sepuluh menit, makanan yang dipesan telah tiba. “Selamat makan..” ia mulai menjejalkan makanan itu ke mulutnya, aku tahu menu gurita bakar kesukaannya itu terasa hambar di lidahnya, rasanya kosong, seperti hatinya.
Dari luar kedai mulai terdengar suara ricuh, festival dimulai. Ia secara spontan berlari ke luar, masih ada gurita diantara kedua rahangnya. Matanya berbinar-binar penuh warna. Ia terlihat sangat senang. Kedua temannya mengikuti langkahnya berlari keluar. “Hey, festivalnya telah dimulai,” kata cewek berambut panjang lurus. “Iya iya, kau benar,” balasnya. Lalu mereka bertiga berjalan cepat mengikuti arakan festival, mereka tak mau tertinggal. Mereka terlihat sangat senang.
Waktu berjalan semakin cepat, udara semakin dingin sampai menusuk ke tulang-tulang. Bongkahan es yang terbentuk, menjadi gedung gedung, rumah, taman bermain, dan patung patung manusia. Ia terdiam , menikmati festival itu berjam-jam. Kedua temannya sibuk dengan obrolan kosong mereka, suaranya seperti radio rusak, berisik. Tiba tiba, ‘pluk’ bola putih yang dingin mendarat di mukanya, ‘pluk’ lagi bola kedua melakukan pendaratan, dengan mulus, diwajahnya yang manis. “Hey..!! ini muka bukan bandara,” ia tidak terima. “peduli..” kata cewek tomboy, temannya melempar lagi, beruntun dan berulang-ulang , bergantian melempar, si cewek tomboy dan cewek brrambut lurus itu. mereka berdua tertawa, “Wahahaha…..” Tertawanya nyaring, nadanya seperti mengejek, berdengung, suara mereka berlipat lipat menjejali telinganya.
Detak jantungnya semakin cepat, matanya berubah, tatapannya tajam penuh kebencian, tangannya siap melayangkan tinju. “Aku sudah muak, aku benci kalian, kalian tidak bisa kusebut teman, aku membenci semua orang, aku ingin membunuh kalian semua, mati kau, matilah, matilah, matilah kalian!!!!” Hatinya berteriak, giginya gemeletuk tak bisa bicara. “Aku ingin mati,” dia membalikkan badannya dengan cepat berlari menjauh, terus berlari tanpa tujuan, matanya menatap dalam dan tajam, ia masih terus berlari, perlahan air matanya menetis. Masih terus berlari, berlari tanpa tujuan, “mengapa aku tidak memiki seseorang yang bisa kusebut teman, kenapa aku selalu sendirian, kenapa keberadaanku seperti tidak ada, kenapa?? Apa salahku? Apakah masih pantas aku ada?”. Kakinya mulai tidak bertenaga, ia jatuh di atas tumpukan salju putih. Ia berada di atas gunung dikelilingi pohon cemara yang besar dan tinggi. Ia membaringkan dirinya di atas salju, air matanya masih mengalir. Menatap langit, namun langit tanpa bintang dengan cahaya bulan yang terang. Ia melihatku dengan mata yang kosong dan dingin, tatapan matanya penuh penderitaan, kesepian, dan kebencian. “Aku suka melihat sinar putihmu yang selalu bersinar di atas langit, bolehkah aku bertanya?” tanyanya merintih, “Aku selalu memperhatikanmu dari atas sini, kau tidak sendiri, kau boleh menanyakan apa pun kepadaku, bertanyalah,” balasku sembari melihatnya. “Apakah aku masih pantas ada?” ia melanjutkannya, aku tertegun “Entahlah”. Lalu ia memejamkan matanya, tubuhnya diselimuti dinginnya salju malam ini. Ia orang yang kesepian, hidupnya penuh penderitaan. Tanpa teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H