Mohon tunggu...
Fiksiana

Dia dan Langit

30 Oktober 2015   06:06 Diperbarui: 30 Oktober 2015   07:22 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Waktu berjalan semakin cepat, udara semakin dingin sampai menusuk ke tulang-tulang. Bongkahan es yang terbentuk, menjadi gedung gedung, rumah, taman bermain, dan patung patung manusia. Ia terdiam , menikmati festival itu berjam-jam. Kedua temannya sibuk dengan obrolan kosong mereka, suaranya seperti radio rusak, berisik. Tiba tiba, ‘pluk’ bola putih yang dingin mendarat di mukanya, ‘pluk’ lagi bola kedua melakukan pendaratan, dengan mulus, diwajahnya yang manis. “Hey..!! ini muka bukan bandara,” ia tidak terima. “peduli..” kata cewek tomboy, temannya melempar lagi, beruntun dan berulang-ulang , bergantian melempar, si cewek tomboy dan cewek brrambut lurus itu. mereka berdua tertawa, “Wahahaha…..” Tertawanya nyaring, nadanya seperti mengejek, berdengung, suara mereka berlipat lipat menjejali telinganya.

Detak jantungnya semakin cepat, matanya berubah, tatapannya tajam penuh kebencian, tangannya siap melayangkan tinju. “Aku sudah muak, aku benci kalian, kalian tidak bisa kusebut teman, aku membenci semua orang, aku ingin membunuh kalian semua, mati kau, matilah, matilah, matilah kalian!!!!” Hatinya berteriak, giginya gemeletuk tak bisa bicara. “Aku ingin mati,” dia membalikkan badannya dengan cepat berlari menjauh, terus berlari tanpa tujuan, matanya menatap dalam dan tajam, ia masih terus berlari, perlahan air matanya menetis. Masih terus berlari, berlari tanpa tujuan, “mengapa aku tidak memiki seseorang yang bisa kusebut teman, kenapa aku selalu sendirian, kenapa keberadaanku seperti tidak ada, kenapa?? Apa salahku? Apakah masih pantas aku ada?”. Kakinya mulai tidak bertenaga, ia jatuh di atas tumpukan salju putih. Ia berada di atas gunung dikelilingi pohon cemara yang besar dan tinggi. Ia membaringkan dirinya di atas salju, air matanya masih mengalir. Menatap langit, namun langit tanpa bintang dengan cahaya bulan yang terang. Ia melihatku dengan mata yang kosong dan dingin, tatapan matanya penuh penderitaan, kesepian, dan kebencian. “Aku suka melihat sinar putihmu yang selalu bersinar di atas langit, bolehkah aku bertanya?” tanyanya merintih, “Aku selalu memperhatikanmu dari atas sini, kau tidak sendiri, kau boleh menanyakan apa pun kepadaku, bertanyalah,” balasku sembari melihatnya. “Apakah aku masih pantas ada?” ia melanjutkannya, aku tertegun “Entahlah”. Lalu ia memejamkan matanya, tubuhnya diselimuti dinginnya salju malam ini. Ia orang yang kesepian, hidupnya penuh penderitaan. Tanpa teman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun