"Skripsi Opsi Bukan Obligasi"
Berbicara mengenai SKRIPSI, sudah seperti membicarakan tentang jodoh dimana banyak orang yang selalu berusaha menyampaikan seribu alasan hanya untuk menghindarinya. Skripsi merupakan syarat akhir untuk kelulusan bagi mahasiswa yang sebelumnya telah dilakukan penelitian di lapangan nyata. Terdengar menakutkan memang, namun tidak bisa dipungkiri kalau nantinya mahasiswa tingkat akhir harus menulisnya meski dalam kondisi siap atau tidak siap.
Selama menjadi mahasiswa, pengalaman -- pengalaman kampus selalu menampar saya dengan banyaknya tugas dan skripsi yang menghantui. Meski masih memiliki waktu, tapi kami dituntut untuk mempersiapkan judul, outline, dan kesiapan mental tentunya.
Setiap mahasiswa pasti selalu berusaha untuk tegar dan selalu menasihati dirinya sendiri bahwa dia bisa dan pasti bisa untuk melangkah ke depan dan menyusun skripsi. Meski demikian, tidak sedikit mahasiswa yang selalu mengeluh tentang tugas akhir pada semester akhir dari perkuliahan, yaitu membuat skripsi. Pasalnya, penyebab para mahasiswa tidak lulus tepat waktu yang telah ditentukan adalah karena tahap penulisan skripsi. Menimbang keluhan dari banyak mahasiswa, terdapat tiga alasan penting mengapa skripsi harusnya bukan menjadi kewajiban melainkan opsi.
1. Stress Berat yang Berlebihan
Tekanan demi tekanan seolah datang bertubi -- tubi terhadap mahasiswa yang psikisnya mudah terganggu. Akibatnya mahasiswa akan tertimpa stress berat sehingga sulit berpikir dengan jernih. Meskipun stress dianggap hal biasa yang terjadi pada mahasiswa, namun nyatanya masalah ini membawa dampak buruk bagi diri mahasiswa itu sendiri. Menurut DeAnnah R. Byrd dan Kristen J. McKinney dalam "Individual, Interpersonal, and Institusional Level Factors Associated with the Mental of College Students" (2012) dalam Khalika (2019) , terdapat  beberapa faktor yang dapat memberikan pengaruh pada kesehatan psikis mahasiswa. Di tingkatan individu, kondisi emosional, kognisi, fisik, dan fungsi intrapersonal menentukan kondisi psikis mahasiswa. Selain itu, kemampuan individu dalam hal kepercayaan diri, persepsi terhadap kompetensi dan keahlian, serta kesanggupan mengatasi masalah juga termasuk ke dalam faktor penyebab dari gangguan pada kesehatan mental.
Berdasarkan laporan Student Minds dalam Khalika (2019) yang bertajuk Grand Challenges in Student Mental Health (2014, PDF), stres merupakan salah satu dari sepuluh kesulitan besar bagi mahasiswa terhadap kesehatan mental. Hasil ini diperoleh setelah lembaga itu menganalisis data 230 responden yang terdiri dari mahasiswa dan lulusan universitas (57%), staf universitas (31%), dan tenaga ahli kesehatan (4%). Hal - hal akademis juga ikut terlibat dalam kasus ini, pasalnya depresi siswa berasal dari lingkungan kampus dan lingkungan sekitar. Skripsi contohnya. Dalam pengerjaannya, banyak siswa mengeluhkan tentang skripsi, sulitnya menyusun skripsi, terkadang pikiran yang berlebihan terhadap skripsi menyebabkan keputusasaan lalu mahasiswa dapat terserang depresi yang berlebihan.
Seperti yang diberitakan pada Desember 2018 dalam Khalika (2019), bahwa dua mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di tempat tinggal masing-masing di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Polisi menyimpulkan bahwa keduanya meninggal akibat bunuh diri. Kesimpulan itu didapat karena polisi tidak menemukan bukti kekerasan sedikitpun pada sekujur tubuh dua mahasiswa tersebut. Sebelumnya pada hari Sabtu (15/12/2018) malam, salah satu ayah dari mahasiswa tersebut masih berhubungan lewat telepon dengan anaknya, kemudian tidak berkomunikasi pada keesokan harinya. Sedangkan pada Senin (24/12/2018) pagi, pacar dari mahasiswa lainnya, menemukan kekasihnya dalam keadaan tak bernyawa saat hendak mengantarkan makanan. Sebelumnya, sang pacar pernah mengeluhkan tentang perekonomiannya dan skripsi yang tak kunjung selesai.
2. Jasa Pembelian Skripsi
Katakan saja ini adalah jalan tikus atau jalan pintas bagi mahasiswa yang tidak mampu menyelesaikan skripsi. Berkembang dan majunya zaman membangun lapangan kerja baru yang berakibat simbiosis mutualisme, yaitu menguntungkan penyedia jasa dan menguntungkan peminta jasa. Kini telah banyak hadir para jasa yang menyajikan dan menawarkan pembuatan skripsi tanpa campuran tangan sedikitpun dari peminta jasa (mahasiswa). Hal ini benar -- benar terjadi, seperti yang di catat oleh Lestari (2016).
Seperti yang dikatakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, "Sebelum ujian, saya bertanya terlebih dahulu kepada mahasiswa itu, apakah ini hasil tangannya sendiri atau hasil beli. Jika tidak mengaku maka saya putuskan kamu untuk tidak lulus." Namun jika mahasiswa itu mengaku maka akan diberi kesempatan sekali lagi untuk membuat skripsi dengan tangannya sendiri. Nasir menambahkan, "selama ada permintaan dari mahasiswa yang malas membuat skripsi, maka jasa pembuatan skripsi akan terus berdiri". Jasa pembuatan skripsi telah terbangun sejak skripsi menjadi syarat kelulusan bagi S1. Lalu terdapat beberapa mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menulisnya atau malas menulisnya, maka kondisi seperti dapat dimanfaatkan bagi pihak yang menerima banyak keuntungan seperti jasa pembuatan skripsi, (Lestari : 2016). Upaya untuk memotong rantai seperti ini adalah dengan memposisikan skripsi sebagai opsi dan bukan wajib. Pengganti untuk skripsi dapat berupa laporan hasil penelitian secara langsung seperti penelitian laboratorium atau pengabdian pada suatu masyarakat.
3. Tidak Wajib Skripsi dalam Merdeka Belajar
Berdasarkan yang disampaikan Washatiyyah (2020) dalam blognya, Dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (yang kemudian dibatalkan oleh Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan), pada Pasal 16 (1) menyatakan bahwa "Ujian akhir program studi suatu program sarjana dapat terdiri atas ujian komprehensif atau ujian karya tulis, atau ujian skripsi." Pada peraturan tersebut, kebebasan mahasiswa S1untuk memilih ujian komprehensif, atau membuat tugas karya tulis dan diujikan (selain skripsi), atau menulis dan ujian skripsi harusnya diberikan.
Faktanya, kebanyakan perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih mewajibkan adanya skripsi sebagai syarat kelulusan dan sampai hari ini hanya satu atau dua universitas pada satu atau dua program studi yang memberi pilihan alternatif kepada mahasiswa sesuai dengan peraturan tersebut. Banyak dosen yang menekan mahasiswanya untuk segera lulus, namun pada kenyataannya pembuatan skripsi bukanlah hal mudah dan hanya memakan waktu sedikit saja. Dari pihak mahasiswa sendiri, mereka tentunya juga ingin cepat lulus dari kampus sehingga bisa mencari pekerjaan atau melanjutkan studinya. Namun mengingat wajibnya skripsi, membuat banyak mahasiswa histeris dalam hati.
Kesehatan psikis manusia sangat penting diperhatikan, karena tentu hal itu terdapat pengaruh yang dapat menghambat sesuatu. Manusia diciptakan dengan berbagai macam kondisi mental yang berbeda, namun tidak menutup kemungkinan bahwa psikis setiap manusia bisa jatuh kapan saja sehingga menyebabkan gangguan pada mentalnya. Menilik kembali tiga alasan di atas, ada baiknya jika skripsi dialihkan menjadi opsi agar mahasiswa bebas menentukan pilihanya. Skripsi bukan satu -- satunya bukti yang dapat dijadikan syarat kelulusan atau pengukuran dari wawasan mahasiswa, namun terdapat banyak alternatife lainnya yang dapat menggantikan kedudukan skripsi.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H