Mohon tunggu...
Khoirun Alifiyah
Khoirun Alifiyah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Siswi SMAN 3 KOTA MOJOKERTO, Khoirun Alifiyah kelas XI-2 yang hobi menggambar dan mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harapan yang Lahir Dipelosok

25 November 2024   07:15 Diperbarui: 25 November 2024   08:29 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang makan terasa hening. Seorang pemuda termenung, menatap layar ponselnya yang memuat berita tentang sebuah desa terpencil. Matanya bergerak cepat membaca setiap kata, sorot matanya berubah serius.

"Bu, Bapak, coba lihat ini," ujarnya, menyerahkan ponsel kepada pria paruh baya yang duduk di seberangnya.

"Berita apa lagi, Nak?" tanya pria itu sambil menerima ponsel tersebut.

"Desa ini kekurangan guru. Sekolahnya hampir roboh. Anak-anak belajar tanpa listrik, aku kasihan pada mereka." jawabnya dengan suara bergetar.

"Kamu mau apa, Ardana?" tanya ibunya, Ratna, sambil menatap putranya dengan kerutan di dahi.

"Bu, aku mau ke sana. Aku mau jadi guru di desa itu," jawabnya tanpa ragu.

Wirata, ayahnya, meletakkan ponsel ke meja dengan wajah penuh kekhawatiran. "Kamu ini baru lulus, Ardana. Hidup di desa terpencil itu tidak mudah. Listrik tidak ada, perjalanan sulit dan belum tentu kamu dapat gaji."

"Pak, itu bukan soal uang. Anak-anak itu butuh pendidikan. Kalau bukan aku, siapa lagi?" Ardana membalas tegas.

"Kamu tidak berpikir panjang, Ardana!" Wirata meninggikan suara, mencoba menahan emosi.

Namun, tekad Ardana tidak tergoyahkan. Hari-hari berikutnya penuh dengan perdebatan. Akhirnya, orang tuanya menyerah meski dengan berat hati.

Langit sore mulai memerah saat Ardana tiba di desa setelah perjalanan panjang. Ia harus melewati penerbangan yang jauh, menyusuri sungai dan melewati jalan berbatu. Ketika sampai, Pak Sembara, kepala dusun, menyambutnya dengan hangat.

"Selamat datang, Nak Ardana. Kami sangat berterima kasih kamu mau datang ke sini," katanya dengan senyuman lelah namun tulus.

Bangunan sekolah di depan mata Ardana membuat hatinya perih. Dinding kayu mulai lapuk, atapnya berlubang, dan meja belajar nyaris ambruk. Anak-anak kecil berlarian dengan pakaian lusuh, menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Pak Guru baru, ya?" tanya seorang anak laki-laki berambut ikal.

"Iya, betul. Nama saya Ardana. Kamu siapa?" Ardana berusaha tersenyum, meski rasa terkejutnya belum reda.

"Saya Aditya," jawab bocah itu sambil tersipu.

Hari-hari pertama mengajar tidak berjalan mudah. Ardana duduk terdiam mencoba mengatasi salah satu tantangan yang terlintas dipikirannya sebelumnya. Anak-anak yang tidak datang ke sekolah, mereka membantu orang tuanya untuk bekerja. Selain itu, sekolah ini memiliki kelas yang hampir roboh, atap yang berlubang dan buku yang hampir tidak ada.Setelah berpikir sejenak, Ardana mendapatkan ide. Dia segera mengambil ponselnya dan mulai mengambil gambar sekolahnya beserta aktivitas murid-murid di sana.

Setelah mengambil gambar dan mengunggahnya dimedia sosial, Ardana berjalan keruang kepala sekolah dan berniat merapikan berkas-berkas dokumen lama, saat mencoba membuka laci Ardana heran kenapa tidak bisa dibuka, lalu ia mencari kuncinya disekitar dan membukanya, saat dibuka ia terkejut melihat beberapa dokumen rapi yang belum tersentuh. Ia mengambilnya lalu membacanya, ia terkejut saat mendapati bahwa desa ini pernah menerima dana besar untuk pembangunan sekolah, tetapi uang itu tidak pernah sampai.

Ia segera mendatangi Pak Sembara. "Pak, ini apa? Kenapa dana sebesar ini tidak pernah digunakan?"

Pak Sembara menunduk. "Nak Ardana, kami ini hanya orang kecil. Dana itu dibawa kabur oleh oknum tertentu. Kami tidak punya kekuatan untuk melawan."

Jawaban itu membakar semangat Ardana. Ia mulai mengumpulkan bukti, mengambil kondisi sekolah dan mencatat cerita warga. Namun, tindakannya menarik perhatian pihak yang tidak senang.

Malam itu, rumah tempat Ardana menginap dilempari batu. Pesan ancaman mulai masuk ke ponselnya.

"Pak, Bu, aku mendapat ancaman," kata Ardana saat menelepon orang tuanya.

"Kamu harus pulang, Nak! Jangan ambil risiko seperti ini," seru Ratna dengan nada panik.

"Bu, aku tidak bisa meninggalkan mereka. Anak-anak ini butuh aku," Ardana menjawab dengan suara tegas.

Setelah mematikan ponselnya, Ardana pergi kekamar mandi dan meninggalkan ponselnya dimeja. Saat kembali Ardana sadar bahwa ponselnya dicuri, ketika ponsel Ardana dicuri, ia merasa seperti kehilangan senjata utamanya. Semua bukti yang ia kumpulkan menghilang begitu saja. Namun, Ardana tak mau menyerah. Dengan hati bergejolak, ia bergegas menemui Pak Sembara dan beberapa warga desa, 

"Pak bagaimana ini, kita tidak bisa berhenti di sini, Pak," ucap Ardana penuh tekad yang kuat.

"Tapi mereka yang kamu hadapi bukan orang biasa, Nak. Mereka punya kuasa. Kita harus hati-hati dengan mereka," jawab Pak Sembara, nadanya penuh kekhawatiran.

Ardana kemudian mengajak beberapa warga yang berani untuk menjadi saksi. Ia mulai menyusun ulang kronologi kejadian, meminta mereka menceritakan pengalaman selama bertahun-tahun tanpa bantuan dana pembangunan. Ia juga menghubungi seorang temannya, Damar, seorang wartawan lokal yang dikenal vokal melawan korupsi.

Damar, yang semula meragukan, tergerak melihat kondisi nyata desa Tarengga. "Ini gila, Ardana. Tapi aku akan bantu. Kita sebarkan cerita ini, meskipun risikonya besar," ujarnya.

Beberapa hari kemudian, tulisan Damar tentang desa Tarengga tayang di salah satu media online. Dalam hitungan jam, berita itu viral. Foto-foto kondisi sekolah, cerita anak-anak yang belajar di bawah atap bocor, dan pengakuan warga membuat publik marah. Tekanan sosial pun mulai memuncak, hingga pemerintah daerah turun tangan untuk memeriksa kasus ini.

Namun, aksi ini juga memicu kemarahan pihak yang merasa terancam. Malam itu, saat Ardana tengah mengajar malam di balai desa yang gelap gulita, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Beberapa pria tak dikenal muncul, membawa wajah garang.

"Kamu pikir kamu pahlawan, hah? Berhenti campuri urusan kami!" bentak salah satu pria berkumis tebal.

Pak Sembara yang berada di dekat Ardana segera maju, mencoba melindunginya. "Kalau kalian mau melawan, lawan saya juga!" katanya lantang.

Ketegangan memuncak ketika salah seorang pria mendorong Ardana hingga jatuh. Namun, sebelum keadaan semakin buruk, para warga membantu.

Ketika Ardana merasa mulai mendapatkan dukungan dari warga desa, sebuah masalah baru muncul. Ia mendapati bahwa salah satu warga yang selama ini tampak mendukungnya, Pak Gatra, ternyata bekerja sama dengan pihak yang menyalahgunakan dana bantuan sekolah.

Awalnya, Ardana tidak percaya. Pak Gatra sering membantunya mengatur pertemuan warga dan bahkan memberikan informasi penting. Namun, suatu malam, Ardana tak sengaja mendengar percakapan Pak Gatra dengan seorang pria misterius di dekat hutan.

"Kalau anak muda itu terus mencari masalah, kita habisi saja. Tapi jangan sekarang. Tunggu sampai situasi tenang," ujar pria itu.

"Dia terlalu banyak tahu, tapi biar saya urus. Jangan khawatir," jawab Pak Gatra santai.

Ardana merasa tubuhnya membeku. Ia segera kembali ke rumah tanpa membuat suara. Sepanjang malam, ia merenung. Jika Pak Gatra benar-benar berkhianat, ini bisa menghancurkan kepercayaan warga terhadap perjuangannya.

Beberapa hari kemudian, Ardana mencoba mencari bukti. Ia memutuskan untuk mengikuti Pak Gatra secara diam-diam. Upayanya membuahkan hasil. Ia melihat Pak Gatra menerima sejumlah uang dari seorang pria berpakaian rapi yang turun dari mobil mewah. Ardana segera mengambil foto kejadian itu dari kejauhan.

Namun, keberaniannya membuatnya tertangkap. Pak Gatra tiba-tiba berbalik dan menyadari keberadaannya. 

"Kamu ngapain di sini, Ardana?" tanyanya dengan nada curiga.

"Saya cuma lewat, Pak," jawab Ardana berusaha tenang.

Namun, mata Pak Gatra mempersempit, penuh ancaman. "Jangan macam-macam, Ardana. Kalau tidak mau ada yang terjadi padamu, berhenti mencampuri urusan ini."

Para warga desa sangat percaya pada Pak Gatra karena pengalamannya yang lama di sana. Jika Ardana terburu-buru dan tidak dapat membuktikan bahwa ia benar, ia bisa kehilangan sebagian dukungan warga desa. 

Sementara itu, Pak Gatra mulai menyebar gosip bahwa Ardana sejatinya tahu kedatangannya ke desa jauh sebelumnya bukan untuk membantu, tetapi untuk kejayaan pribadi. Beberapa warga desa yang sebelumnya bersikap netral mulai menjauhi Ardana.

 "Pak guru, apakah betul anda berencana menjual tanah desa untuk mendapatkan uang?" tanya Aditya, salah satu muridnya mencibir.

Pertanyaan itu membuat Ardana merasa terluka. "Tidak, Aditya. Aku di sini hanya ingin kalian semua bisa belajar dengan baik," jawabnya sambil berusaha tersenyum.

Dengan bantuan Damar, Ardana akhirnya menemukan bukti-bukti kuat keterlibatan Pak Gatra dalam kasus korupsi. Mereka juga mendapatkan rekaman suara percakapan antara Pak Gatra dan pihak korupsi.

Namun, sebelum bukti itu bisa dipublikasikan, Pak Gatra dan anak buahnya mencoba menghalangi Ardana. Malam itu, Ardana disergap di jalan ketika hendak membawa bukti tersebut ke kota.

"Bukti ini tidak akan ke mana-mana, Ardana," ujar Pak Gatra sambil merampas tasnya.

Namun, Ardana tidak sendirian. Damar dan polisi yang sudah dihubungi sebelumnya tiba tepat waktu. Pak Gatra dan anak buahnya ditangkap, sementara Ardana berhasil menyerahkan bukti ke pihak berwenang.

Penangkapan Pak Gatra membuat warga desa terkejut. Banyak yang merasa malu karena sempat mempercayainya. Namun, Ardana tidak menyalahkan mereka.

"Saya mengerti kenapa kalian percaya. Tapi sekarang, kita bisa mulai lagi. Bersama-sama," ujarnya dalam pertemuan desa.

Meski perjalanan ini penuh rintangan, Ardana berhasil membuktikan kebenaran. Ia tidak hanya melawan korupsi, tetapi juga membangun kembali kepercayaan warga terhadap pendidikan dan masa depan mereka.

Polisi datang dan menangkap para pria tersebut. Ardana, meski terluka kecil, tetap berdiri tegak. Polisi mengungkap bahwa para pria itu adalah orang suruhan dari pihak yang terlibat korupsi. Berbekal bukti tambahan yang berhasil dikumpulkan, para pelaku utama akhirnya ditangkap dan diadili.

Desa Tarengga kini berubah. Dengan dana pembangunan baru yang diawasi ketat, sekolah kayu yang hampir roboh kini berganti menjadi bangunan kokoh. Anak-anak belajar dengan nyaman, tanpa takut hujan atau panas.

Nama Ardana menjadi perbincangan nasional. Ia tak hanya menginspirasi masyarakat dengan keberaniannya melawan korupsi, tetapi juga membuktikan bahwa pendidikan bisa menjadi awal perubahan besar.

Ketika diwawancarai oleh media, Ardana hanya tersenyum. "Ini bukan tentang saya. Ini tentang anak-anak desa Tarengga. Mereka punya hak untuk bermimpi, dan saya hanya ingin membantu mewujudkannya dengan membantu membukakan jalan untuk mereka."

Setelah Pak Gatra dan komplotannya ditangkap, Ardana merasa lega meski tubuhnya lelah. Warga desa mulai menyadari betapa besar perjuangan Ardana untuk mereka.

Pada suatu pagi, saat Ardana sedang mengajar, para warga desa berkumpul di halaman sekolah dengan membawa hasil panen, makanan dan kain tradisional. Pak Sembara maju mewakili warga, memegang sebuah kotak kecil.

"Nak Ardana," ujar Pak Sembara dengan suara bergetar, "kami sadar, kami tidak punya banyak untuk membalas semua yang telah kamu lakukan. Tapi ini adalah ungkapan rasa terima kasih kami. Terimalah ini sebagai penghormatan dari hati kami."

Ardana membuka kotak itu dan menemukan sebuah keris kecil, simbol keberanian dan penghormatan di desa tersebut. Air mata membasahi pipinya.

"Saya tidak bisa melakukannya sendiri. Kalian semua juga punya peran besar," jawab Ardana dengan suara parau.

Kisah perjuangannya tidak hanya berhenti di desa. Berita tentang perjuangannya melawan korupsi dan membangun kembali sekolah menyebar luas. Media massa meliput kisahnya, dan pemerintah memberikan penghargaan khusus kepadanya sebagai "Relawan Inspiratif Pendidikan Nasional."

Kisah Ardana menjadi bukti 

bahwa pengorbanan dan keberanian bisa menerangi jalan menuju keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun