Jangan kita kira bahwa orang yang tekenal akan alim itu, cobaan akan harta benda sudah tidak ada. Bahkan sebenarnya malah semakin besar, tidak sedikit karena sudah besar dan punya pengaruh bisa tergelincir karena harta atau wanita.Â
Contoh tauladan yang bisa kita jadikan figur dalam hal ini adalah Umar bin Khattab, ketika kaum muslimin pada masa kepemimpinan Umar bisa memenangkan perang melawan Persia saat perang Qodisiah.Â
Ketika itu Sa'at bin Abi Waqqas membawa harta rampasan perang yang berlimpah. Umar dihadapkan limpahan harta yang tidak pernah dialami oleh Abu Bakar dan Rasulullah saw. Tetapi Umar tetap teguh pada keputusannya:
"Yang dianggap boleh dari harta itu buat saya dua pasang pakaian: sepasang untuk musim dingin dan sepasang untuk musim panas; itu yang saya pakai menunaikan ibadah haji lalu dibalikkan untuk umrah; yang saya makan dan dimakan keluarga, seperti yang dimakan keluarga Quraisy, bukan dari orang yang terkaya, juga bukan dari yang termiskin. Di samping itu saya adalah sama dengan muslimin yang lain, yang saya peroleh sama dengan yang mereka peroleh." (Muhammad Husein Haekal,2015).
Walaupun rakyat memperbolehkan Umar untuk mengambil lebih dari itu sebagai hak atas kedudukanya sebagai khalifah, tetapi beliau menolak. Hal demikian sudah tepat karena sekali saja dia mengambil harta umat, memiliki kecenderungan hidup berlebih maka akan mengantarkan pada tindak korupsi.
Mendudukkan Harta Dunia dengan Tepat
Sebagai bahan pemahaman agar kita bisa lulus dari ujian akan harta benda. Maka sebaiknya kita bisa memahami kedudukannya, bagi siapa yang bisa mendudukkan dengan tepat dialah yang berhasil lolos dan sebaliknya, jika dia salah akan berakibat gagal dalam ujian. Pahamilah bahwa kita ini adalah musafir yang sedang melakukan perjalanan yang jauh untuk bisa mencapai tujuan.Â
Dalam perjalanan kita perlu yang namanya istirahat dan bekal, harta dunia adalah alat kita agar  bisa mencapai surga digunakan untuk kebaikan (Qs. Al-Baqarah [2] : 25). Terkadang manusia itu karena asiknya untuk mendapatkan bekal, sampai melupakan akan tujuan hidup sebenarnya.Â
Materi dijadikan tujuan bukan sebagai alat. Perilakunya pagi sampai malam hanya disibukan untuk menumpuk harta benda, karena materi sudah banyak dan jarang dikeluarkan untuk sosial membuat dia lemas dalam berjalan, dengan begitu tanpa sadar cita-citanya sudah beralih ke dunia. Orang yang berbuat demikian telah diperingatkan oleh Allah dalam surat At-Takaatsur ayat 1 sampai 8.
Selain ingat akan tujuan hidup kita, agar senantiasa bisa mendudukkan maka terapkanlah gaya hidup sederhana, jangan dikira bahwa hidup sederhana itu sama dengan miskin.Â
Dalam ajaran Islam melarang hambanya untuk miskin, karena kesusahan akan ekonomi bisa mengarahkan pada kefasikan hingga kekafiran. Islam mengajarkan umatnya agar berkerja keras di dalam mencari karunia Allah (Qs. Al-Jumuah [62] : 62). Hidup sederhana adalah seperti yang dikemukakan oleh Umar bin Khattab tadi, bukan dari orang yang terkaya, juga bukan dari yang termiskin.Â
Seimbang sesuai dengan kebutuhan, di jelaskan di dalam surat Al Qashash ayat 77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."