Mohon tunggu...
Khoirul Anam
Khoirul Anam Mohon Tunggu... lainnya -

Tidak mampu mendeskripsikan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik

2 Desember dan Politik Satu Komando Umat Islam

22 November 2016   07:26 Diperbarui: 22 November 2016   09:20 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat Islam di seluruh dunia terbagi menjadi banyak golongan. Demikian pula halnya dengan di Indonesia. Terbaginya umat Islam bukan hanya berdasarkan perbedaan aqidah, namun juga berdasarkan benyak hal lain, termasuk kepentingan, sikap primordial, hingga kepatuhan terhadap tokoh tertentu sebagai pemimpin. Di Indonesia, mayoritas umat Islam berpaham Ahlussunnah wal Jamaah. Di luar itu, ada berbagai kelompok yang berseberangan seperti Syiah, Salafi, Wahabi, hingga penganut Abangan dan Ahmadiyah yang difatwakan  sesat dan bukan Islam.

Di luar perbedaan aqidah, umat Islam masih terbagi dalam banyak partai politik. Meskipun sama-sama menggunakan asas Pancasila dan Islam, hal itu tidak lantas menjadikan mereka memiliki satu kepentingan yang sama. Beberapa parpol Islam memang memiliki basis kelompok yang berbeda, seperti PKB, PAN, dan PKS. PKB lahir dari para tokoh NU, PAN dari Muhammadiyah, dan PKS merupakan embrio yang dilahirkan oleh gerakan KAMMI dengan basis massa Ikhwanul Muslimin. Adapun ormas yang melahirkan partai-partai politik tersebut memang memiliki perbedaan yang cukup mendasar dalam aqidah.

Pasca jatuhnya rezim Soeharto, banyak pula ormas Islam yang secara terang-terangan menginginkan terbentuknya negara Islam atau penerapan Syariah Islam muncul ke permukaan. HTI menjadi salah satu ormas Islam paling mencolok yang menyuarakan pembentukan Khilafah. Ada juga NII yang sempat membuat heboh karena peristiwa hilangnya banyak orang dari keluarganya. Belakangan yang paling menyita perhatian adalah munculnya simpatisan ISIS. Bukan pemain baru memang, tapi baiat kelompok mereka pada ISIS membuat mereka memiliki wajah dan label baru. Yah, meski sama-sama teroris.

Perbedaan pendapat yang terjadi antar kelompok umat Islam kadang memancing rasa sentimen berlebihan. Tak jarang perbedaan pendapat menjadi ajang saling mencaci, membodohkan, hingga mengkafirkan kelompok lain. Apalagi, ketika dibumbui aktifitas politik seperti pilpres 2014 lalu. Umat Islam benar-benar terlarut dalam euforia saling ejek dan menjelekkan kelompok lain atas dasar agama. Sebuah tindakan yang, sayangnya, mengarah ke sentimen SARA.

Bersatu Dalam Kasus Ahok

Kasus yang menimpa Ahok menjadi sebuah momen dimana umat Islam berada dalam satu pandangan. Umat Islam dari berbagai ormas menyuarakan tuntutan yang sama, Adili Ahok! Beberapa pihak memang menganggap Ahok hanya keseleo lidah ataupun menganggap apa yang dikatakannya bukanlah sebuah penistaan agama. Ahok pun sudah meinta maaf. Namun, hal ini tidak lantas membuat suara-suara umat Islam redam. Sebaliknya, suara-suara itu berubah menjadi pergerakan massa yang dikomando FPI.

Saya pernah membahas mengenai pergerakan FPI dulu dan sekarang pada artikel sebelumnya. Mereka bergerak bukan sekedar dorongan membela Islam, namun juga atas kepentingan penguasa atau elit politik. Entah siapa yang saat ini memiliki kepentingan menggerakkan FPI, masih menjadi sebuah tanda tanya. Namun, saya lebih condong untuk menunjuk hidung pemerintah saat ini sebagai yang memiliki kepentingan terbesar.

Salah satu hal yang menjadi dasar opini saya adalah isu kenaikan upah buruh. Tahun-tahun sebelumnya, disaat mendekati akhir tahun, aksi massa banyak dilakukan golongan pekerja dalam tarik-ulur kenaikan UMR. Masing-masing pihak, pekerja dan pengusaha, memiliki kepentingan untuk menetukan besarak kenaikan upah tahunan. Sekitar 2 – 3 tahun terakhir ini, kenaikan upah buruh mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini tentu membuat pengusaha gerah dan khawatir akan keberlangsungan bisnis mereka. Pihak pengusaha yang lebih mudah mendekati penguasa tentu saja akan berusaha menekan agar kenaikan upah tidak terlalu besar. Jika tidak, mereka bisa saja mengancam mencabut investasi di Indonesia.

Pemerintah yang terus berusaha menggenjot pertumbuhan ekonomi sudah pasti akan lebih condong berpihak pada penguasa. Namun, politik aksi massa yang biasa dilakukan buruh juga tidak bisa dianggap mereh. Terlebih lagi jika sampai terjadi aksi massa dan mogok kerja berskala nasional. Oleh karena itu, dilakukanlah ‘sabotase’ panggung jalanan yang biasa diapaki aksi massa buruh. Isu penistaan agama digulirkan, umat Islam digerakkan. Dalam hal ini, ormas seperti FPI memiliki peranan penting dalam menggalang kekuatan massa. Ditambah lagi, media juga ikut membesarkan masalah ini. Pada akhirnya, buruh kehilangan panggung dan media untuk memanaskan isu UMR.

Hal kedua yang terlintas di kepala saya adalah ‘politik satu komando’ umat Islam. Belum lama ini, sempat beredar kabar bahwa pemerintah sedang menargetkan sejumlah ormas Islam yang menentang ideologi negara dan berusaha mendirikan Khilafah. Sebut saja salah satunya adalah HTI. Pertumbuhan ormas (atau mungkin lebih sesuai disebut partai politik) ini memang cukup mengkhawatirkan pemerintah. Jika kampanye pendirian Khilafah mereka semakin luas dan anggotanya semakin banyak, maka pemerintah akan mengahdapi situasi yang mempertaruhkan identitas bangsa dan negara. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi.

Ancaman pembubaran ormas yang anti-Pancasila tidak bisa dilakukan begitu saja. Terlebih lagi, ormas anti-demokrasi ini membela diri dengan istilah kebebasan berserikat. Cukup tidak nyambung memang, tapi ya demikianlah yang terjadi. Selanjutnya, atas nama demokrasi, ormas ini tidak bisa disentuh begitu saja. Lain halnya jika pemerintah ‘membelokkan’ keimanan Khilafah mereka dari dalam dengan menggunakan FPI sebagai komando.

Aksi 4 November kemarin cukup terlihat jelas bagaimana FPI menginisiasi, menggulirkan isu, hingga menggerakkan massa. Tidak hanya dari FPI saja, tapi ormas-ormas lain ikut serta. Dengan cerdiknya, FPI secara de facto menjadi pemimpin mereka semua tanpa pernah dipilih. Mereka memegang tongkat komando aspirasi umat Islam. Apa yang mereka suarakan pun bukan pendirian Khilafah, pemberlakun Syariah Islam, atau gulingkan pemerintah. Apa yang mereka suarakan adalah penegakan hukum. Bukan hukum Islam, tapi hukum negara Indonesia tercinta ini. Bukan penggal kepala Ahok, tapi penjarakan Ahok. Teriakan tuntutan FPI dengan ‘latah’ diikuti oleh ormas anti-Pancasila seperti HTI.

Rencananya, aksi lanjutan akan dilakukan 2 Desember mendatang. Saya cukup menantikan untuk melihat hal ini. Saya sendiri yakin, bukan tuntutan lengserkan Jokowi yang mereka suarakan. Seperti isu yang dihembuskan beberapa hari terakhir. Hanya sekedar mengawal kasus Ahok. Namun bagi saya, bukan tuntutan itu yang menjadi fokus aksi massa ini. Kita akan melihat bagaimana FPI menggiring golongan yang anti sholawat untuk bersholawat, golongan yang mem-bid’ah-kan istighotsah untuk ber-istighotsah, dan golongan yang selalu mengkafirkan golongan lain untuk beribadah dan berdoa dibelakang Imam yang sama. Terutama, mereka yang anti-Pancasila dan demokrasi ‘dipaksa latah’ mengikuti aksi FPI yang melakukan aksi massa sesuai Undang-Undang dengan mengantongi ijin kepolisian.

Apabila semua yang telah direncanakan berjalan sesuai rencana, pemerintah tidak perlu bertindak terlalu jauh dengan membubarkan ormas pendukung Khilafah. Mereka dengan sendirinya akan senantiasa menunggu FPI, sebagai komando umat Islam, untuk menggulirkan isu-isu baru. Perhatian mereka terhadap FPI pun akan menjadi lebih besar karena sudah diangap saudara yang dipertemukan dalam pertempuran melawan kafir. Mereka tidak lagi segan menganggap Habib-Habib yang selama ini mereka hina sebagai panutan. Perbedaan pandangan dalam Maulid Nabi bukan lagi masalah besar. Dengan demikian, HTI lebih mudah untuk dikendalikan. Hal ini sering dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dan biasa kita sebut sebagai rekayasa sosial. Terlebih lagi, BIN sudah memasukkan 'agen' mereka di dalamnya. 

Bagi pemerintah, dua isu di atas jauh lebih besar dibandingkan sosok seorang Ahok. Kalaupun Ahok harus diputuskan bersalah dan dipenjara, itu bukan sebuah perkara yang besar dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dan konstitusi. Tapi bukan berarti Ahok harus diputuskan bersalah. Saya hanya menganggap kasus beliau sekedar isu yang digulirkan. Demikian halnya dengan safari Presiden ke beberapa tokoh nasional untuk mengendalikan situasi. Apa yang dilakukan Jokowi cukup efektif dalam membangun opini bahwa kondisi politik cukup stabil dan terkendali. Sehingga, investasi aman dan pertumbuhan ekonomi berjalan terus.

Salam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun