Satgas Covid-19 di kota Surabaya dan Sidoarjo belakangan sedang giat-giatnya melakukan operasi yustisi untuk mendisiplinkan masyarakat tentang protokol kesehatan (prokes) Covid-19. Gabungan Polisi, TNI, Pol-pp, Dishub dan petugas terkait lainnya gencar bergerilya bersama mencari warga yang kedapatan melanggar protokol prokes.
Sanksi yang akan dikenakan kepada pelanggar beragam. Mulai dari sekedar push up ditempat, hingga membayar denda puluhan bahkan ratusan ribu rupiah, tergantung jenis pelanggarannya. Seperti yang terjadi pada teman saya beberapa hari yang lalu.
Sekitar pukul 09.30 WIB tanggal 18 Januari lalu seorang teman mengabarkan di grup WA kalau dia kena razia masker saat mengendarai motor. Dia sudah pakai masker tapi hidungnya kelihatan. Dia dianggap melanggar prokes Covid-19 dan dikenai sanksi denda sebesar 100 ribu rupiah. Di samping itu, kata dia, ada warkop kecil di sekitar lokasi razia tersebut yang juga dianggap melanggar prokes. Denda nya tidak main-main, lima ratus ribu rupiah.
Seperti yang kita tahu, operasi masif itu terjadi lantaran PSBB Jawa-Bali berlaku sejak tanggal 11 sampai 25 Januari. Dan akan di perpanjang lagi sampai tanggal 8 Februari 2021.
Melansir dari situs covid19.go.id per-hari Senin kemarin (25/1) Jawa Timur masih menjadi provinsi terbanyak penyumbang kasus positif corona urutan ke-4 setelah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Dengan jumlah kasus positif sebanyak 106.162 orang. Dan di urutan pertama sebagai provinsi dengan jumlah kematian akibat Covid-19 terbanyak se-Indonesia, yakni 7.381 jiwa. Karenanya, Gubernur Jatim Ibu Khofifah menetapkan 15 daerah di Jawa Timur masuk wilayah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
***
Orang yang tidak mengenakan masker saat di kota akan dianggap melanggar protokol kesehatan covid-19, bahkan bisa di denda. Sedangkan di beberapa desa, hal itu dianggap biasa saja. Di desa saya misalnya, di ujung Sampang Madura sana.
Aktifitas sosial masyarakat disana berjalan sebagaimana biasanya, tidak ada yg berubah. Warga secara terbuka keluar rumah tanpa masker. Tanpa ada rasa takut terjangkit virus corona. Juga, tanpa ada rasa khawatir bila tiba-tiba di amankan aparat seperti pol pp, polisi, maupun TNI. Karena memang sejauh ini tidak pernah ada razia masker di desa saya.
"Corona jeh aslinah tadek", artinya, Corona itu aslinya nggak ada. Begitu kira-kira kalimat yang disampaikan orang-orang disana saat diajak ngobrol tentang corona.
Di Madura sangat jarang orang pakai masker. Saat pulang kampung tempo hari, disepanjang jalan sejak dari Tangkel (nama kawasan setelah melewati Suramadu) sampai nyampek rumah (Kedungdung, Sampang), saya perhatikan warga yang mengenakan masker bisa dihitung jari. Sepertinya sebagian besar masyarakat Madura tidak ambil pusing dengan berita-berita mengerikan yang ditayangkan setiap saat di TV, Koran, dan media online tentang banyaknya korban covid-19 ini.
Bukannya orang Madura tidak mau menerapkan protokol kesehatan, semula sesungguhnya mereka sangat patuh pada himbauan pemerintah. Buktinya di awal-awal pandemi saat mau keluar rumah, mereka mau mengenakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan cuci tangan. Artinya, mereka percaya akan bahaya corona itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, ada beberapa faktor yang kemudian membuat mereka mulai ragu pada corona. Selain itu, mereka tidak terbiasa dengan protokol kesehatan itu. Apalagi, jarang ada himbauan dan pengawasan dari aparat, relawan maupun pemerintah setempat. Sehingga, mereka tidak merasa terkekang dengan sekelumit himbauan dan aturan pemerintah pusat.
***
Sekira dua bulan setelah kasus covid-19 pertama dulu diumumkan oleh presiden, terjadilah beberapa peristiwa yg kemudian mengakibatkan orang Madura tambah ragu pada bahaya corona.
Diantaranya; terjadi di sebuah desa bernama Tamansareh dan Batuporo, Sampang. Â Ada orang meninggal dinyatakan positif covid. Karena penasaran, setelah jenazah tersebut dimakamkan oleh para nakes, lalu para nakes itu pulang, kuburan tersebut digali kembali oleh keluarga almarhum. Alhasil, didapati pakaian dalam beserta popok jenazah itu masih melekat di tubuhnya. Kabar itu pun dengan cepat tersebar. Hal yang demikian jelas membuat warga Madura geram. Anda tau sendiri kan, gimana berislamnya masyarakat Madura?
Ada pula kasus lain, yakni seseorang yang memang sudah sakit menahun, sebutlah namanya Citra (bukan nama sebenarnya) asal Taddan Sampang. Karena harus berobat dibawalah ia ke RSUD Sampang. Sebagaimana prosedur umumnya, ia harus di tes SWAB dulu. Dan ternyata hasilnya positif.
Karantina hari pertama di rumah sakit pasien ini menelpon keluarganya, ia mengaku dibiarkan tanpa perawatan yg jelas.Â
Keluarganya pun datang menjemputnya. Proses penjemputan berlangsung dramatis. Pihak keluarga terlihat marah. Bahkan, ada seorang ibu-ibu dari keluarga tersebut mencak-mencak di halaman rumah sakit sambil ngomel-ngomel. Tanpa menunggu lama, video amatir yg merekam penjemputan itu viral di medsos.
Fenomena seperti dua kejadian diatas kian hari kian bertambah. Bahkan, orang-orang yang memang sakit bertahun-tahun yang harus di Rapid dan /atau SWAB test dulu saat berobat ke rumah sakit, lalu hasilnya positif, pernah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat desa saya. Muncul banyak spekulasi tentang hal itu. Yang paling dominan jadi perbincangan adalah dugaan bahwa corona seolah menjadi ladang bisnis rumah sakit.
Sekalipun dugaan itu mungkin tidak benar dan kurang berdasar, desas-desusnya menyebar secara cepat dan massif. Dampaknya, orang biasa hingga tokoh masyarakatnya semakin tidak percaya pada bahaya virus corona.
Bahkan, Sekitar bulan April 2020 lalu pernah saya ikut pengajian yang digelar secara besar-besaran di kampung saya di Madura, secara terang-terangan penceramahnya menyatakan tidak percaya pada ganasnya virus corona. Maka, semakin hanyutlah masyarakat pada perasaan bebas dari corona.
Kendati demikian, sekalipun orang-orang di Madura sebagian besar tidak menjalankan gerakan 3M dan tidak mau #dirumahaja, mereka sangat menikmati hari-harinya. Rutinitas berjalan normal seperti biasa. Tidak ada perubahan signifikan sebagaimana di kota. Pasar dan toko-tokok tetap dibuka, kegiatan masjid juga tetap jalan. Tidak ada pembatasan shaf sholat. Salaman setelah Sholat. Tidak ada pembatasan jam malam. Â Kesehatan mereka juga terlihat baik-baik saja. Tidak ada penyakit aneh yang muncul begitu saja.
Saat orang-orang di kota sibuk membuat barikade dan benteng pertahanan maksimal agar tidak tertular maupun menularkan covid-19. Mereka justru merasa bebas melakukan apapun.
Apakah mereka salah? Tidak juga. Bagi Anda yang  pernah hidup di desa tentu paham mengapa itu terjadi. Bukan perkara mudah membuat masyarakat di desa percaya begitu saja pada virus ini. Ada sekian lapis dinding yang mesti ditembus. Tidak cukup kita ngoceh didepan mereka menjelaskan tentang apa itu corona dan dampak penyebarannya.
Karena sudah terlanjur terbentuk persepsi keraguan masyarakat tentang corona. Maka, orang dengan sederet gelar dan alumni perguruan tinggi ternama pun tidak akan mampu menembus dinding itu, manakala ia bukan orang yang ditokohkan di tengah masyarakat tersebut.
Ya, nampaknya mungkin hanya tokoh masyarakat di desa itu lah yang mampu meyakinkan masyarakat, khususnya tokoh agama. Fatwa tokoh agama seperti Kyai dan Ustadz di desa amat dibutuhkan jika pemerintah benar-benar ingin prokes covid-19 diterapkan di desa. Tapi, adakah Kyai dan Ustadz di desa yang sepenuhnya percaya pada covid-19? Sependek pengetahuan saya sepertinya kebanyakan tidak.
***
Tulisan ini tidak hendak memprofokasi Anda agar tidak percaya corona. Apalagi, meminta Anda meniru perilaku masyarakat desa yang kebanyakan tidak menerapkan prokes Covid-19.
Mungkin tidak semua desa. Tapi saya cukup yakin kalau di desa-desa khususnya Madura kebanyakan demikian fenomena masyarakatnya menghadapi corona.
Yang hidup di desa tentu tidak perlu menganggap masyarakat kota berlebihan menyikapi corona.
Yang hidup di kota juga sebaliknya, tidak perlu menganggap masyarakat desa seenaknya sendiri menyikapi corona.
Harap dipahami kondisi psikologi masa suatu kelompok masyarakat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Seperti lingkungan, penghargaan, dan sanksi. Baik sanksi moral, sosial, maupun hukum.
Seandainya lingkungan seperti desa saya di turunkan serta dimukimkan aparat gabungan untuk mendisiplinkan perilaku masyarakat, mungkin situasinya bakal sama saja seperti di kota.
Di kota banyak juga yang ngentengin corona. Bedanya dengan masyarakat desa, masyarakat kota tidak mungkin berperilaku bebas tanpa prokes. Mereka dikepung lingkungan yang mayoritas percaya bahaya corona. Akan malu sendiri bila mereka mengabaikan prokes itu. Juga, akan rugi sendiri bila harus membayar denda karena kedapatan tidak bermasker saat terjaring razia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H