Mohon tunggu...
Ahmad Zainul Khofi
Ahmad Zainul Khofi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Pelajar

Living in an intentional continuous exploration of life | IG: @azkhofi_

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahaya Logosentrisme dalam Kepemimpinan

2 Agustus 2023   17:03 Diperbarui: 2 Agustus 2023   17:06 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kematian logosentrisme mengawali lahirnya dunia baru tanpa pusat, tanpa subjek, tanpa ontologi, tanpa sandaran makna dan kebenaran. Inilah dunia yang mengajarkan kita untuk liyaning liyan, menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan yang lain dalam kelainannya," - Jacques Derrida

Manusia dengan manusia yang lain bagaikan bangunan. Satu sama lain saling menguatkan. Saling bahu membahu untuk mencapai kehidupan yang paripurna. Manusia tercipta tidak untuk hidup sendirian di alam raya ini. Tapi ia terlahir sebagai khalifah yang tak akan dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna. Pemimpin itu membutuhkan masyarakat dan masyarakat membutuhkan pemimpin (simbiosis mutualisme). Pemimpin yang baik akan dicintai oleh rakyatnya, dan rakyat yang baik akan mendukung pemimpinnya untuk mencapai cita-cita bersama. Namun sebaliknya, pemimpin yang tidak baik akan membawa pada ketidakbaikan pada rakyat dan organisasi yang dipimpinnya.

Penulis akan mengutip sebuah mutiara hadits yang berbunyi "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya," (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Bahwa, sudah menjadi ketetapan Tuhan manusia hadir di muka bumi tercipta sebagai seorang pemimpin. Entah kepemimpinan itu di lingkup yang memiliki skala kecil yaitu memimpin dirinya sendiri, keluarga maupun di lingkup organisasi yang berskala besar.

Seorang pemimpin dituntut untuk bisa mengayomi, menuntun, melindungi dan menjadi teladan bagi pengikut atau orang yang dipimpinnya. Pemimpin dan kepemimpinan merupakan satu kesatuan kata yang tak dapat dipisahkan secara ruang dan waktu terlebih berkait struktural maupun fungsional.

Terlepas dari banyaknya macam konsep kepemimpinan, penulis lebih merujuk dan membedah bagaimana logosentrisme harus mati dalam paradigma pemimpin, agar sebuah pemimpin dapat benar-benar dinilai sebagai sosok pemimpin yang didambakan.

Secara etimologis, logosentrisme berasal dari kata logos yang berarti pemikiran dan sentrisme berarti pusat.  Dapat disimpulkan, logosentrisme adalah cara berpikir yang kaku atau terpusatnya tradisi pada logos/pemikiran rasional. Umumnya, logosentris itu masing-masing mengakui dirinya yang paling benar, logosnya sudah terpusat atau tertutup pada sudut kebenarannya sendiri. Jadi dalam memaknai suatu hal, pemaknaan dirinyalah yang benar, dan yang ada di luar dirinya dianggap sebuah kekeliruan-padahal logos itu sifatnya tidak tunggal.

Bukti eksistensi logosentrisme itu tampak ada dalam konvensionalitas pemimpin yang mengadopsi cara berpikir "binary opposition". Sederhananya, binary opposition adalah cara berpikir serba dua atau serba berpasangan.  Seperti logika aristoteles, yaitu A = A dan A B. Cara berpikir binary oppsition melahirkan hirarki dan sub-ordinasi, sehingga jika cara berpikirnya hanya dua, maka yang satu levelnya tinggi dan satunya lagi rendah atau yang satu berkonotasi positif dan satunya berkonotasi negatif. Ini adalah sumber kekacauan sikap pemimpin selama ini.

Sebuah studi kasus, misalnya, pertemuan (rapat) evaluasi di sebuah organisasi yang di pimpin oleh ketuanya. Ditemukan dalam prosesnya, terjadi banyak usulan, masukan maupun kritikan yang disampaikan oleh anggota rapat. Alih-alih mau menerima usulan dan kritikan itu. Ia merespon dengan wajah yang tidak suka dan terkadang dengan kata-kata yang kurang elok. Mestinya seorang pemimpin dalam rapat harus bisa mendengarkan masukan dan membedah serta mengevaluasi bersama. Ia terus bersikukuh dengan sudut kebenarannya sendiri, sehingga hasil yang diharapkan bukanlah mufakat bersama, melainkan pendapat individu pemimpin itu sendiri. Bahasa kasarnya dapat diartikan sebagai sosok pemimpin yang anti-kritik, terjebak dalam kebenarannya sendiri, inilah logosentrisme kepemimpinan.

Lalu, bagaimana solusinya? 

Pertama, pemimpin harus menghapus logosentrisme dalam kepemimpinannya, sebagaimana yang dikatakan Jacques Derrida dalam penggalan kalimat yang mengawali tulisan ini. Jika pemimpin menginginkan iklim organisasi yang liyaning liyan atau menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan yang lain dalam kelainannya, maka logosentrisme harus mati.

Kemudian, seorang pemimpin harus berpikir secara horizontal atau longitudinal bukan latitudinal, jadi sifatnya generalist bukan spesialist. Pemimpin tidak seharusnya memakai kaca mata kuda dalam menggiring anggotanya (univok), harus melihat kanan kiri atau segala aspek jejak dari ujung pemaknaan yang akan dihasilkan (equivok), lebih-lebih untuk tujuan mitigasi resiko jangka panjang yang sistemik.

Terakhir, pemimpin perlu mengadopsi teori dekonstruksi dalam kepemimpinannya. Bagian ini (teori dekonstruksi) perlu penjelasan panjang lebar, agar dapat mendatangkan makna yang baik bagaimana dekonstruksi dalam paradigma kepemimpinan.

Dekonstruksi begitu identik dengan filsafat posmodernisme, sebuah istilah yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Jacques Derrida (1930 -- 2004). Seperti yang Derrida katakan, bahwa dekonstruksi memang tak bisa didefinisikan karena sifatnya yang terus-terusan (sustainable), tapi kita anggap saja bahwa dekonstruksi adalah strategi analisis yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan serta membongkar kontradiksi-kontradiksi internal yang ada di dalamnya. Jika salah satu tugas filsafat bersifat konstruktif, maka dekonstruksi mengingatkan bahwa setiap konstruksi tak bisa mengelak dari karakter metaforis dan interstekstual bahasa/teks; bahwa pada akhirnya kebenaran yang disusun tak dapat tunggal dan begitu rentan.

Dalam teori dekonstruksi, Derrida menyatakan segala sesuatu yang memiliki makna adalah teks, dan teks ini sifatnya equivok, dan makna itu lahir dari diffrance, dan adanya diffrance karena ada jejak (trace).

Pemimpin dalam memaknai segala sesuatu harus memandang equivok sesuatu itu, kemudian melahirkan makna atas sesuatu itu melalui jaringan teks dalam diffrance, dan diffrance itu dihasilkan dari proses jejak (trace). Karena, apapun ide atau gagasan seorang pemimpin itu sebenarnya satu lini jejak dari teks. Maka, pemimpin jangan sekali-kali mengklaim finalitas suatu kebenaran. Apapun yang dianggap benar harus terus di-dekonstruksi, sekat identitas kolektif harus dikurangi dan dihapus, agar sifat xenophobia juga terhapus, dan ujungnya logosentrisme juga otomatis akan mati, sehingga lahirlah iklim organisasi yang liyaning liyan.

Oleh: Ahmad Zainul Khofi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun