Kemudian, seorang pemimpin harus berpikir secara horizontal atau longitudinal bukan latitudinal, jadi sifatnya generalist bukan spesialist. Pemimpin tidak seharusnya memakai kaca mata kuda dalam menggiring anggotanya (univok), harus melihat kanan kiri atau segala aspek jejak dari ujung pemaknaan yang akan dihasilkan (equivok), lebih-lebih untuk tujuan mitigasi resiko jangka panjang yang sistemik.
Terakhir, pemimpin perlu mengadopsi teori dekonstruksi dalam kepemimpinannya. Bagian ini (teori dekonstruksi) perlu penjelasan panjang lebar, agar dapat mendatangkan makna yang baik bagaimana dekonstruksi dalam paradigma kepemimpinan.
Dekonstruksi begitu identik dengan filsafat posmodernisme, sebuah istilah yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Jacques Derrida (1930 -- 2004). Seperti yang Derrida katakan, bahwa dekonstruksi memang tak bisa didefinisikan karena sifatnya yang terus-terusan (sustainable), tapi kita anggap saja bahwa dekonstruksi adalah strategi analisis yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan serta membongkar kontradiksi-kontradiksi internal yang ada di dalamnya. Jika salah satu tugas filsafat bersifat konstruktif, maka dekonstruksi mengingatkan bahwa setiap konstruksi tak bisa mengelak dari karakter metaforis dan interstekstual bahasa/teks; bahwa pada akhirnya kebenaran yang disusun tak dapat tunggal dan begitu rentan.
Dalam teori dekonstruksi, Derrida menyatakan segala sesuatu yang memiliki makna adalah teks, dan teks ini sifatnya equivok, dan makna itu lahir dari diffrance, dan adanya diffrance karena ada jejak (trace).
Pemimpin dalam memaknai segala sesuatu harus memandang equivok sesuatu itu, kemudian melahirkan makna atas sesuatu itu melalui jaringan teks dalam diffrance, dan diffrance itu dihasilkan dari proses jejak (trace). Karena, apapun ide atau gagasan seorang pemimpin itu sebenarnya satu lini jejak dari teks. Maka, pemimpin jangan sekali-kali mengklaim finalitas suatu kebenaran. Apapun yang dianggap benar harus terus di-dekonstruksi, sekat identitas kolektif harus dikurangi dan dihapus, agar sifat xenophobia juga terhapus, dan ujungnya logosentrisme juga otomatis akan mati, sehingga lahirlah iklim organisasi yang liyaning liyan.
Oleh: Ahmad Zainul Khofi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H