"Salah satu tanda berkembangnya manusia adalah menerima kritik dari sesamanya." - Carol Dweck
Dalam kehidupan sosial, bermasyarakat ataupun berteman, tak jarang jika kita melihat ada kejanggalan, tentu sudah sewajarnya kita memberikan kritik atau masukan. Pun sebaliknya, jika kita berbuat kejanggalan maka siap-siap untuk menerima kritik.
Kritik adalah hal yang (mungkin) kita dapatkan maupun kita lakukan, budaya kita mengajarkan bahwa jika kita sedang dikritisi, maka kita harus melakukan intropeksi. Seperti kata Carol Dweck seorang Profesor Psikologi di Stanford bahwa salah satu tanda berkembangnya manusia adalah menerima kritik dari sesamanya.
Namun masalahnya, seiring menghadapi realitas kehidupan, tak jarang kita bertemu dengan orang yang cenderung antikritik, tidak menerima pendapat orang lain, serta apatis terhadap perasaan orang lain. Ini membuat saya teringat pada alegori gua Plato.
Dalam alegori gua, dikisahkan ada sekelompok budak yang seumur hidupnya terkurung dengan kondisi duduk menyandar ke tembok dan badan menghadap ke dinding gua karena alat gerak mereka terikat.
Seumur hidup, pandangan mereka hanya pernah tertuju ke depan, tidak pernah ke samping ataupun ke belakang. Digambarkan pula, ada api yang menyala di belakang tembok, ini memungkinkan bayang-bayang muncul di dinding gua yang mereka tatap sepanjang hidup mereka.
Bisa dikatakan, orang-orang yang terikat ini hanya melihat bayang-bayang orang di depan api. Namun, mereka yakin dan percaya bahwa itulah gambaran realitas yang benar. Sebab, ya seumur hidup mereka hanya bayang-bayang itulah yang mereka lihat.
Pada suatu kesempatan, ikatan salah satu dari mereka terlepas. Ia menyaksikan bayangan yang ia lihat selama ini ternyata bayangan para budak lain yang lalu-lalang di depan api tersebut, bukan gambaran realitas yang sesungguhnya. Ia kemudian memanjat tebing gua untuk keluar dari gua dan menyaksikan cahaya matahari yang sangat terang.
Awalnya, ia tidak kuat menatap cahaya yang begitu terang mengingat sebelumnya hidupnya hanya dipenuhi dengan kegelapan. Setelah terbiasa, ia menyadari bahwa apa yang ia yakini selama ini tentang kebenaran sebenarnya hanya bayangan, bukan realita.
Ketika orang tersebut kembali ke gua, ia berusaha menerangkan realitas yang sesungguhnya kepada rekan-rekannya, bahwa yang selama ini mereka anggap kebenaran ternyata hanyalah bayang-bayang belaka. Sayangnya, mereka malah marah dan ingin membunuhnya karena merasa ia telah mengatakan kebohongan.
Alegori ini menegaskan bahwa jika orang sudah memegang prinsip atau gambaran yang keliru, ia akan sulit untuk terbuka dan melihat kejernihan realitas, bersifat pragmatis.
Ironisnya, dalam keseharian kita bersosial, tak jarang kita bertemu dengan orang layaknya yang terikat di dalam gua. Tidak mau menerima kenyataan bahwa mereka masih memiliki masalah dan prinsip hidup mereka juga bermasalah. Ketika dinasehati baik-baik pun, mereka merasa sedang dicaci-maki dan sedang berusaha dijatuhkan.
Prinsip yang mereka pegang tidak bisa dikatakan salah, terutama ketika mereka menikmati hidup dalam prinsip tersebut. Masalahnya, mereka tidak terlihat menikmatinya. Sebab jika mereka menikmatinya, mereka tentu saja tidak akan terus mencari validasi bahwa prinsipnya sudah tepat.
Oleh: Ahmad Zainul Khofi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H