OELH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa yang tenang, tinggallah seorang pemuda bernama Raka. Ia dikenal cerdas, pandai berbicara, dan memiliki semangat yang tinggi dalam belajar. Namun, sifat sombongnya membuat ia sering meremehkan orang lain. Suatu hari, seorang kakek tua yang bijaksana bernama Pak Wiryo datang ke desa itu. Ia adalah seorang ahli tembang macapat yang terkenal di seantero negeri.
Pak Wiryo sering duduk di bawah pohon beringin besar di tengah desa, menceritakan ajaran kehidupan melalui tembang macapat. Suatu hari, Raka yang penasaran mendekati Pak Wiryo. "Kek, tembang macapat itu apa gunanya untukku? Aku sudah tahu banyak hal tanpa perlu mendengarkan tembang kuno itu."
Pak Wiryo tersenyum lembut. "Nak Raka, tembang ini bukan sekadar rangkaian kata. Ada ajaran hidup yang dalam di dalamnya. Dengarkanlah satu tembang ini, dan pahamilah maknanya."
Pak Wiryo mulai menyanyikan tembang macapat Mijil:
Dedalane guna lawan sekti,
Kudu andhap asor,
Wani ngalah luhur wekasane,
Tumungkula yen dipun dukani,
Bapang den simpangi,
Ana catur mungkur.
Raka mendengarkan dengan alis mengernyit. "Itu berarti apa, Kek?" tanyanya dengan nada meremehkan.
Pak Wiryo menjelaskan, "Untuk menjadi pintar dan bijak, Nak, seseorang harus rendah hati. Berani mengalah tidak berarti kalah, melainkan menunjukkan kebesaran jiwa. Ketika dimarahi, meskipun tidak salah, tundukkanlah kepala. Hadapi rintangan dengan mencari jalan lain. Dan jika mendengar gunjingan, tetaplah melangkah tanpa menoleh."
Raka mendengus. "Rendah hati? Mengalah? Bukankah itu hanya untuk orang lemah?"
Pak Wiryo tersenyum lagi, tidak tersinggung. "Kalau begitu, aku punya tantangan untukmu. Aku akan mengajarkan makna sejati dari tembang ini melalui pengalaman. Temui aku besok pagi di tepi sungai."