Hari-hari berikutnya, Alif menjadi bayangan setia Bima. Ia bekerja tanpa lelah, bahkan kadang-kadang lebih keras daripada Bima sendiri. Ketika Bima mulai putus asa melihat perlahan-lahan kemajuan mereka, Alif selalu hadir dengan kata-kata yang menyemangati.
"Setiap bata yang kita letakkan adalah langkah menuju mimpi baru, Bim. Jangan berhenti sekarang," katanya sambil mengangkat balok kayu ke tempatnya.
Namun, ujian persahabatan mereka tidak berhenti di situ. Saat mereka hampir selesai membangun kembali rumah, Bima difitnah mencuri di pasar. Tuduhan itu mengguncang kepercayaan Bima terhadap orang-orang di sekitarnya.
"Alif, aku tidak melakukannya," ujar Bima suatu malam dengan air mata yang mengalir. "Tapi mereka semua percaya aku bersalah."
"Aku tahu kau tidak melakukannya, Bim," jawab Alif tegas. "Dan aku akan membuktikan bahwa kau tidak bersalah."
Alif bekerja keras membersihkan nama Bima. Ia berbicara dengan saksi, mengumpulkan bukti, hingga akhirnya menemukan bahwa tuduhan itu hanya kesalahpahaman. Ketika kebenaran terungkap, Bima menangis dalam pelukan sahabatnya.
"Kau bukan hanya membersihkan namaku, Lif. Kau mengembalikan kepercayaanku pada dunia," ujar Bima haru.
Beberapa bulan kemudian, rumah Bima berdiri kembali, lebih kokoh daripada sebelumnya. Mereka merayakan pencapaian itu dengan mendaki bukit di pinggiran desa. Dari puncak, mereka memandang desa yang perlahan pulih dari luka-lukanya.
"Lif, aku sering bertanya-tanya, apa yang membuatmu tetap berada di sisiku?" tanya Bima, memecah keheningan.
Alif menatap sahabatnya dan tersenyum. "Sahabat sejati adalah penolong, pendamping dalam suka dan duka, pemberi nasihat, dan orang yang menaruh rasa simpati. Kau telah menjadi semua itu untukku, Bim. Kini giliran aku untuk membalasnya."
Bima terdiam. Kata-kata Alif mengalir seperti air yang menyejukkan jiwanya. Ia tahu bahwa persahabatan mereka bukan sekadar kebetulan, tetapi anugerah yang tak ternilai.