OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit sore itu merona jingga, seperti hati seorang ibu yang penuh cinta namun menyimpan luka yang dalam. Di sudut restoran #RnBGrillResto, seorang wanita paruh baya bernama Bu Ratna duduk dengan anggun. Wajahnya lembut, senyumnya menenangkan, tetapi ada jejak keletihan yang tak bisa disembunyikan.
Sebelumnya, meja itu penuh tawa. Tiga anaknya datang, membawa sebuket anggrek lilac, pink, dengan semburat biru. Cantik dan segar, seperti doa-doa yang ia kirimkan setiap malam untuk mereka.
"Selamat Hari Ibu, Ma!" seru Nisa, putri sulungnya, dengan mata berbinar.
"Bunga ini spesial banget, Ma! Mirip kayak yang dulu kita tanam di taman belakang," tambah Reza, si anak tengah yang biasanya pendiam.
Bu Ratna tersenyum, menyembunyikan haru yang membuncah. Ia membelai bunga itu perlahan. "Cantik sekali... Terima kasih, Nak. Telimakaciii..." katanya dengan nada ceria.
"Makmal dulu dong, Bu!" Arya, si bungsu yang ceria, menimpali sambil tertawa.
Mereka memesan makanan. Sup goulash legendaris dari Hungaria menjadi hidangan pertama. Bu Ratna tersenyum kecil saat melihat anak-anaknya berebut mencicip steak wagyu sirloin.
Namun, tiga bulan sebelumnya, keadaan sangat berbeda. Rumah Bu Ratna sunyi. Nisa jarang pulang karena kariernya sebagai desainer interior di kota besar menyita waktu. Reza sibuk mengelola usahanya. Arya, yang baru kuliah, jarang ada di rumah karena lebih sering bersama teman-temannya.
Hujan deras malam itu menjadi saksi kepedihan Bu Ratna. Ia duduk di ranjangnya, memegang rosario tua milik ibunya. Tubuhnya bergetar saat ia mendaraskan doa, tetapi air matanya tak dapat ditahan.