"Rakyatku," suaranya bergetar, "aku telah memutuskan untuk menyerahkan tahta ini kepada Kusuma."
Kerumunan bersorak, namun tak semuanya terdengar gembira. Mandakini menahan air mata. Ia tahu, ini bukan kekalahan, melainkan pengorbanan. Namun, saat ia menuruni mimbar, sebuah teriakan nyaring membelah udara.
"Hidup Ratu Mandakini!"
Mandakini menoleh dan melihat seorang anak kecil di tengah kerumunan. Di tangannya, ada secarik kain dengan tulisan besar: Ibu Dunia, Jangan Pergi!
Air mata Mandakini akhirnya jatuh. Ia berlutut, memeluk anak itu. "Aku tidak akan pergi. Aku akan selalu ada di hati kalian."
Namun, di kejauhan, Kusuma melihat adegan itu dengan sorot mata penuh dilema. Dalam langkahnya menuju singgasana, ia sadar bahwa menjadi ratu bukan hanya soal kekuasaan, tetapi soal cinta yang tak berbatas. Namun terlambat, ia telah memulai badai yang tak bisa dihentikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H