"Angkuh?" Mandakini terkejut. "Seluruh hidupku kuhabiskan untuk rakyat, Kusuma! Aku bahkan mengorbankan cinta, kebahagiaan, demi negeri ini."
Kusuma menggeleng. "Kau tidak memahami rakyat seperti yang kau pikirkan. Kau momong, tapi seperti orang tua yang lupa bahwa anak-anaknya butuh kebebasan, bukan aturan tanpa ruang bernapas."
"Dan kau? Apa yang akan kau lakukan? Memimpin dengan menghancurkan? Dengan pedang dan darah?" suara Mandakini meninggi.
"Kadang, Kak, bumi perlu retak agar benih baru bisa tumbuh," balas Kusuma dengan tegas.
Hening menggantung di antara mereka, seperti langit sebelum hujan lebat.
Malam itu, Mandakini merenung di taman istana. Suara jangkrik menemani pikirannya yang kusut. Pilihan yang dihadapinya sangat sulit: melawan atau menyerah. Di saat seperti ini, ia hanya ingin kembali ke masa kecil, bermain bersama Kusuma di bawah pohon beringin besar.
Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di belakangnya. Kusuma berdiri, tanpa baju perang, hanya kain sederhana. Mata adiknya tak lagi dipenuhi api kebencian, melainkan rasa bersalah.
"Kak, aku datang bukan untuk berdebat lagi," kata Kusuma pelan. "Aku hanya ingin kau tahu, aku melakukan ini bukan karena aku membencimu, tapi karena aku mencintai negeri ini. Aku tak ingin rakyat terus menderita."
Mandakini menatap adiknya dengan air mata yang menggantung di pelupuk matanya. "Kalau begitu, mengapa kau harus menghancurkanku?"
"Karena aku percaya, negeri ini butuh perubahan, dan kadang cinta harus menyakitkan," bisik Kusuma sebelum berbalik dan pergi.
Keesokan harinya, rakyat berkumpul di alun-alun. Mereka menunggu pengumuman besar dari Ratu Mandakini. Dengan pakaian kebesarannya, Mandakini berdiri di atas mimbar.