OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mentari senja merekah jingga, mewarnai langit di atas negeri Rengganis. Di singgasana megah, Ratu Mandakini duduk dengan sorot mata nanar. Ia tahu, tak lama lagi badai akan datang, membawa pergolakan besar di antara rakyatnya. Kerajaan itu terancam pecah oleh pemberontakan yang dipimpin seseorang yang tak terduga: Kusuma, adik kandungnya sendiri.
"Bagaimana bisa dia, yang selama ini kujaga seperti anakku sendiri, kini ingin menjatuhkanku?" bisik Mandakini kepada dirinya sendiri.
Pelayan setia, Nayaka, mendekat. "Paduka, rakyat menanti keputusan. Mereka ingin tahu apakah Paduka akan melawan atau menyerahkan tahta?" suara Nayaka bergetar.
Mandakini terdiam sejenak. "Melawan adikku sendiri? Mengangkat pedang melawan darah dagingku?" tanyanya lirih.
"Paduka, dia sudah menghimpun kekuatan besar. Jika Paduka diam, rakyat akan menderita," ujar Nayaka dengan nada mendesak.
Mandakini menghela napas panjang. Ia teringat ajaran leluhurnya: seorang ratu harus mampu momong seperti orang tua, momot seperti samudra, dan momor seperti bumi. Namun, bagaimana ia bisa memomong Kusuma jika ia sendiri tak tahu apa yang ada di hati adiknya?
"Panggil Kusuma ke istana. Aku ingin bicara dengannya," ucap Mandakini akhirnya.
Di balairung, Kusuma muncul dengan langkah penuh percaya diri. Baju perangnya berkilau dalam cahaya obor. Mata mereka bertemu, dua saudara yang kini berdiri di sisi yang berseberangan.
"Kusuma," Mandakini memulai, "mengapa kau memilih jalan ini? Mengapa kau melawan darah dagingmu sendiri?"
Kusuma tersenyum dingin. "Kakak, negeri ini bukan hanya milikmu. Rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa mendengar mereka. Sementara engkau, duduk di singgasana, membisu dalam keangkuhan."