Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ratu di Penghujung Senja

29 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 29 Desember 2024   18:00 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Mentari senja merekah jingga, mewarnai langit di atas negeri Rengganis. Di singgasana megah, Ratu Mandakini duduk dengan sorot mata nanar. Ia tahu, tak lama lagi badai akan datang, membawa pergolakan besar di antara rakyatnya. Kerajaan itu terancam pecah oleh pemberontakan yang dipimpin seseorang yang tak terduga: Kusuma, adik kandungnya sendiri.

"Bagaimana bisa dia, yang selama ini kujaga seperti anakku sendiri, kini ingin menjatuhkanku?" bisik Mandakini kepada dirinya sendiri.

Pelayan setia, Nayaka, mendekat. "Paduka, rakyat menanti keputusan. Mereka ingin tahu apakah Paduka akan melawan atau menyerahkan tahta?" suara Nayaka bergetar.

Mandakini terdiam sejenak. "Melawan adikku sendiri? Mengangkat pedang melawan darah dagingku?" tanyanya lirih.

"Paduka, dia sudah menghimpun kekuatan besar. Jika Paduka diam, rakyat akan menderita," ujar Nayaka dengan nada mendesak.

Mandakini menghela napas panjang. Ia teringat ajaran leluhurnya: seorang ratu harus mampu momong seperti orang tua, momot seperti samudra, dan momor seperti bumi. Namun, bagaimana ia bisa memomong Kusuma jika ia sendiri tak tahu apa yang ada di hati adiknya?

"Panggil Kusuma ke istana. Aku ingin bicara dengannya," ucap Mandakini akhirnya.

Di balairung, Kusuma muncul dengan langkah penuh percaya diri. Baju perangnya berkilau dalam cahaya obor. Mata mereka bertemu, dua saudara yang kini berdiri di sisi yang berseberangan.

"Kusuma," Mandakini memulai, "mengapa kau memilih jalan ini? Mengapa kau melawan darah dagingmu sendiri?"

Kusuma tersenyum dingin. "Kakak, negeri ini bukan hanya milikmu. Rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa mendengar mereka. Sementara engkau, duduk di singgasana, membisu dalam keangkuhan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun