Keesokan harinya, Awan berdiri di depan gerbang perusahaan besar. Ia mendengar ada lowongan, meskipun syaratnya jauh di atas kemampuannya. Dengan mengenakan kemeja lusuh dan membawa berkas seadanya, ia masuk.
"Maaf, kami butuh seseorang dengan pengalaman lebih," kata petugas HR dengan nada dingin.
"Tolong, Pak. Saya akan bekerja keras. Saya bersedia lembur tanpa bayaran tambahan. Saya... saya hanya butuh kesempatan," pinta Awan, matanya memohon.
"Tidak ada ruang untuk kompromi di sini. Selamat siang," jawab petugas itu dingin.
Awan keluar dengan langkah berat, tapi di matanya muncul kilatan yang baru. Aku tidak akan kalah, gumamnya dalam hati.
Malam itu, ia menyalakan lampu meja dan mulai mencari peluang di internet. Setelah berjam-jam, ia menemukan lowongan sebagai kurir barang. Gajinya kecil, tapi cukup untuk memulai. Tanpa pikir panjang, ia mendaftar.
Hari-hari berikutnya adalah ujian bagi tubuh dan jiwanya. Ia harus bangun pukul tiga pagi untuk mengambil barang di gudang, lalu mengantarkannya dengan sepeda tua yang sering kempis. Namun, setiap kali rasa lelah menyerang, ia mengingat wajah ibunya yang terus tersenyum meski menahan sakit. Ingatan itu memberinya kekuatan untuk terus mengayuh.
Suatu sore, saat ia baru selesai mengantarkan paket terakhir, seorang pria tua di depan rumah besar memanggilnya. "Nak, kamu tahu ini?" Pria itu menunjuk pada logo kecil di paket yang baru saja diantarkan Awan.
"Ya, Pak. Itu logo perusahaan tempat saya bekerja."
Pria itu tersenyum. "Aku pemiliknya. Kamu pekerja keras, aku suka itu. Kalau kamu mau, datang ke kantor besok. Aku punya sesuatu yang lebih baik untukmu."
Tawaran itu mengubah hidup Awan. Ia diberi posisi sebagai asisten administrasi dengan pelatihan langsung dari pemilik perusahaan. Dalam beberapa bulan, ia berhasil melunasi utang dan membawa ibunya ke rumah sakit untuk perawatan yang lebih baik.