OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah kampus elit di jantung kota, hiduplah seorang mahasiswi bernama Nadira. Parasnya luar biasa cantik, membuat siapa pun yang melihatnya terpikat. Kulitnya sehalus sutra, rambutnya hitam legam seperti malam tanpa bulan, dan senyumnya mampu menghentikan detak jantung. Namun, kecantikan Nadira bukan sekadar anugerah, melainkan sebuah pedang bermata dua.
"Kamu tahu, Nadira? Kalau kamu minta langit, aku akan berikan," kata Arya, seorang mahasiswa kaya raya yang tergila-gila padanya. Mereka duduk di taman kampus, di bawah rindangnya pohon flamboyan.
Nadira hanya tersenyum tipis. "Langit tak pernah kuminta, Arya. Aku hanya ingin kebebasan."
Arya mengerutkan dahi. "Kebebasan dari apa?"
Nadira tidak menjawab. Matanya menerawang jauh, menembus batas-batas gedung kampus yang megah. Kebebasan itu adalah kebebasan dari penilaian yang selalu datang dari kecantikannya. Seumur hidupnya, Nadira merasa dipenjara oleh pujian, tatapan iri, dan ekspektasi yang membebani.
Di sisi lain kampus, seorang dosen muda bernama Adnan memperhatikan Nadira dari kejauhan. Adnan terkenal sebagai dosen yang cerdas dan berwibawa, tetapi ia memiliki prinsip tegas: ia tidak pernah memandang seseorang hanya dari luarnya. Ketertarikannya pada Nadira bukan karena kecantikannya, melainkan karena kecerdasan dan keberanian gadis itu dalam berpendapat di kelas.
"Kecantikanmu hanyalah kulit," kata Adnan suatu hari setelah kelas selesai, saat mereka berbincang di sudut perpustakaan. "Apa yang membuatmu istimewa adalah isi kepalamu."
"Apakah itu pujian atau kritik, Pak?" balas Nadira, menantang.
Adnan tersenyum. "Itu kenyataan."
Namun, kehidupan Nadira di kampus tidak semudah itu. Banyak perempuan di lingkungannya iri padanya, termasuk sahabatnya sendiri, Livia. Suatu hari, Livia datang dengan sebuah ide licik.
"Aku dengar kamu dekat dengan Pak Adnan," kata Livia, menyipitkan mata. "Apa kamu pikir dia benar-benar tertarik padamu karena isi kepalamu? Aku yakin, dia sama seperti yang lain. Dia hanya ingin kecantikanmu."
Perkataan itu mengendap di hati Nadira, menanamkan keraguan yang menyakitkan. Di saat yang sama, Arya semakin agresif mendekatinya, menawarkan hadiah-hadiah mahal dan janji-janji muluk.
Hingga suatu malam, sebuah pesta besar diadakan di kampus. Semua orang hadir, termasuk Arya dan Adnan. Nadira mengenakan gaun putih sederhana, tetapi tetap mencuri perhatian seluruh ruangan. Arya mendekatinya dengan segelas anggur di tangan.
"Aku tahu apa yang kamu butuhkan, Nadira. Aku bisa memberikannya," bisiknya. "Kehidupan mewah, kebebasan, apa saja."
Namun sebelum Nadira sempat menjawab, Adnan muncul. "Kamu salah, Arya," katanya dengan tenang. "Yang Nadira butuhkan adalah seseorang yang melihatnya sebagai manusia, bukan sekadar objek kecantikan."
Suasana memanas. Arya, merasa terhina, melempar gelasnya ke lantai. "Kamu pikir kamu siapa, hah? Hanya dosen miskin yang sok bijak!"
Nadira berdiri di antara keduanya. "Berhenti! Aku sudah muak menjadi alasan pertengkaran kalian."
Semua mata tertuju padanya. Nadira menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Aku lelah menjadi orang yang hanya dinilai dari luar. Jika kalian benar-benar peduli, buktikan bahwa kalian melihatku lebih dari sekadar kecantikan."
Setelah malam itu, Nadira menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Bahkan Adnan, yang selama ini merasa memahami gadis itu, tak bisa menemukannya. Hingga suatu hari, setahun kemudian, sebuah berita mengejutkan tersebar di kampus.
Nadira ditemukan di sebuah desa terpencil, jauh dari gemerlap kota. Dia menjadi guru bagi anak-anak miskin, mengabdikan hidupnya untuk mendidik generasi muda. Wajahnya masih cantik, tetapi ada sesuatu yang berbeda --- pancaran ketenangan dan kebahagiaan yang tulus.
Ketika Adnan akhirnya menemukannya, ia bertanya, "Kenapa kamu pergi?"
Nadira tersenyum, untuk pertama kalinya dengan sepenuh hati. "Karena di sini, kecantikanku tidak berarti apa-apa. Di sini, aku merasa bebas."
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu pagi, Nadira ditemukan terbaring lemas di depan rumah sederhana tempatnya tinggal. Ia meninggal karena penyakit yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang.
Di pemakamannya, hanya ada sedikit pelayat, tetapi semuanya menangis dengan tulus. Adnan berdiri di depan pusaranya, memandang nisan sederhana itu dengan air mata mengalir di pipinya.
"Kecantikanmu memang seperti embun pagi, Nadira," bisiknya. "Bersinar sekejap, lalu lenyap. Tapi hatimu akan selalu abadi."
Ketika semua orang pergi, Adnan menemukan sebuah buku catatan yang ditinggalkan Nadira. Dalam lembar terakhirnya, ia menulis: "Kecantikan hanyalah titipan. Namun cinta dan dedikasi yang tulus, itu warisan yang kekal."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H