Ketika Adnan akhirnya menemukannya, ia bertanya, "Kenapa kamu pergi?"
Nadira tersenyum, untuk pertama kalinya dengan sepenuh hati. "Karena di sini, kecantikanku tidak berarti apa-apa. Di sini, aku merasa bebas."
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu pagi, Nadira ditemukan terbaring lemas di depan rumah sederhana tempatnya tinggal. Ia meninggal karena penyakit yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang.
Di pemakamannya, hanya ada sedikit pelayat, tetapi semuanya menangis dengan tulus. Adnan berdiri di depan pusaranya, memandang nisan sederhana itu dengan air mata mengalir di pipinya.
"Kecantikanmu memang seperti embun pagi, Nadira," bisiknya. "Bersinar sekejap, lalu lenyap. Tapi hatimu akan selalu abadi."
Ketika semua orang pergi, Adnan menemukan sebuah buku catatan yang ditinggalkan Nadira. Dalam lembar terakhirnya, ia menulis: "Kecantikan hanyalah titipan. Namun cinta dan dedikasi yang tulus, itu warisan yang kekal."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H