Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Hari di Ruang Debat

16 Desember 2024   12:28 Diperbarui: 16 Desember 2024   21:00 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Satu Hari di Ruang Debat". adjar.grid.id

OLEH: Khoeri Abdul muid

Di sudut Fakultas Filsafat, ruang diskusi itu riuh. Para mahasiswa yang biasanya pendiam berubah menjadi api yang berkobar. Topiknya kontroversial: "Kebahagiaan: Pencapaian atau Penerimaan?"

Dina, mahasiswa tingkat akhir yang dikenal pintar dan kritis, berdiri di depan kelas. "Kebahagiaan itu harus dicapai. Bagaimana kita bisa merasa tenang jika tidak memperjuangkan yang terbaik dalam hidup kita?" katanya lantang. Suaranya penuh keyakinan, membungkam diskusi sejenak.

Namun, sebuah suara tenang dari sudut ruangan memecah keheningan. "Tapi bagaimana jika 'yang terbaik' itu ternyata hanya ilusi?" tanya Adrian, mahasiswa baru yang belum banyak dikenal.

Dina menoleh, menatapnya tajam. "Maksudmu?"

Adrian berdiri perlahan, wajahnya tenang. "Kita sering mengejar sesuatu yang kita pikir akan membawa kebahagiaan---pekerjaan, pasangan, uang. Tapi begitu kita mendapatkannya, kita merasa kosong lagi. Kebahagiaan bukan soal memiliki lebih banyak, tapi menerima apa yang sudah ada."

Hadirin mulai berbisik. Sebagian terlihat mengangguk, yang lain tampak ragu.

Dina tersenyum miring. "Kamu bicara tentang pasrah, kan? Itu hanya alasan untuk orang yang malas berusaha."

Adrian tidak terpancing. "Bukan pasrah. Aku bicara tentang menerima. Ada perbedaan besar di sana. Misalnya, aku ingin sekali menjadi seperti kamu---cerdas, percaya diri, selalu unggul. Tapi jika aku terus membandingkan diri, aku tidak akan pernah tenang. Bukankah lebih baik aku menerima diriku, lalu berusaha sesuai potensiku?"

Dialog itu memanas. Dina terus menyerang argumen Adrian, tapi pemuda itu selalu membalas dengan tenang, membuat Dina mulai kehilangan kendali.

"Apa kamu bilang aku salah dengan berambisi?" Dina akhirnya bertanya dengan nada tinggi.

Adrian menggeleng. "Aku tidak bilang salah. Tapi terkadang, ambisi bisa jadi musuh kebahagiaan. Kebahagiaan ada di sini dan sekarang, bukan di masa depan yang kita impikan."

Kelas menjadi sunyi. Dosen yang dari tadi mengamati dengan senyum kecil akhirnya berdiri. "Kalian hebat. Perdebatan ini mencerminkan dua pandangan hidup yang berbeda tapi sama validnya."

Namun Dina tidak merasa menang. Ada sesuatu dalam kata-kata Adrian yang membuatnya gelisah.

Hari berganti, tetapi perdebatan itu terus terngiang di kepala Dina. Ia berjalan menuju kampus, masih memikirkan jawaban yang lebih kuat untuk Adrian. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu di pinggir taman kampus.

Adrian duduk di kursi roda, seorang perawat muda membantunya menyesuaikan posisi duduk. Dina tertegun.

"Adrian?" panggilnya ragu.

Pemuda itu tersenyum ketika melihat Dina. "Hai, Dina. Pagi yang cerah, ya?"

"Apa yang terjadi padamu?" Dina tidak bisa menahan rasa terkejutnya.

"Ini?" Adrian menunjuk kursi rodanya. "Kecelakaan dua tahun lalu. Tulang belakangku cedera. Aku tidak bisa berjalan lagi."

Dina terdiam. Ia teringat betapa Adrian begitu tenang dalam perdebatan mereka kemarin, seolah tidak ada yang membebani hidupnya. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa setenang itu?"

Adrian tertawa kecil. "Aku pernah seperti kamu, Dina. Penuh ambisi, penuh target. Tapi setelah kecelakaan ini, aku sadar bahwa aku harus menerima keadaan. Bukan berarti aku berhenti berusaha. Aku tetap belajar, tetap punya mimpi. Tapi aku tidak lagi membenci apa yang tidak bisa aku ubah."

Kata-kata Adrian menghantam Dina seperti gelombang besar. Selama ini, ia terus mengejar sesuatu, berpikir kebahagiaan ada di ujung jalan. Tapi ia lupa untuk menghargai apa yang sudah ia miliki.

Di akhir semester, Dina melihat Adrian di podium saat acara penghargaan mahasiswa. Ia menerima penghargaan sebagai mahasiswa dengan nilai terbaik, meskipun kondisinya terbatas.

Ketika Adrian turun dari podium, Dina menghampirinya. "Kamu benar," katanya pelan.

"Benar soal apa?" Adrian bertanya, meski senyumnya sudah menyiratkan bahwa ia tahu.

"Kebahagiaan... bukan soal apa yang tidak ada, tapi menerima apa yang sudah ada." Dina tersenyum, kali ini tulus tanpa beban.

Adrian menatapnya dengan mata berbinar. "Dan dengan begitu, kita akhirnya tenang."

Beberapa bulan kemudian, Adrian tidak lagi datang ke kampus. Berita itu tiba di telinga Dina dengan cara yang menyakitkan. Adrian telah pergi. Penyakit yang selama ini ia sembunyikan telah merenggut hidupnya.

Dina berdiri di depan taman kampus tempat mereka terakhir berbicara. Kursi roda Adrian tidak lagi di sana. Namun, ketenangan yang ia ajarkan tetap tinggal.

Sambil menatap langit, Dina berbisik pada dirinya sendiri, "Menerima bukan berarti menyerah. Itu berarti hidup sepenuhnya. Terima kasih, Adrian."

Air matanya jatuh, tapi kali ini, hatinya benar-benar tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun