Adrian tertawa kecil. "Aku pernah seperti kamu, Dina. Penuh ambisi, penuh target. Tapi setelah kecelakaan ini, aku sadar bahwa aku harus menerima keadaan. Bukan berarti aku berhenti berusaha. Aku tetap belajar, tetap punya mimpi. Tapi aku tidak lagi membenci apa yang tidak bisa aku ubah."
Kata-kata Adrian menghantam Dina seperti gelombang besar. Selama ini, ia terus mengejar sesuatu, berpikir kebahagiaan ada di ujung jalan. Tapi ia lupa untuk menghargai apa yang sudah ia miliki.
Di akhir semester, Dina melihat Adrian di podium saat acara penghargaan mahasiswa. Ia menerima penghargaan sebagai mahasiswa dengan nilai terbaik, meskipun kondisinya terbatas.
Ketika Adrian turun dari podium, Dina menghampirinya. "Kamu benar," katanya pelan.
"Benar soal apa?" Adrian bertanya, meski senyumnya sudah menyiratkan bahwa ia tahu.
"Kebahagiaan... bukan soal apa yang tidak ada, tapi menerima apa yang sudah ada." Dina tersenyum, kali ini tulus tanpa beban.
Adrian menatapnya dengan mata berbinar. "Dan dengan begitu, kita akhirnya tenang."
Beberapa bulan kemudian, Adrian tidak lagi datang ke kampus. Berita itu tiba di telinga Dina dengan cara yang menyakitkan. Adrian telah pergi. Penyakit yang selama ini ia sembunyikan telah merenggut hidupnya.
Dina berdiri di depan taman kampus tempat mereka terakhir berbicara. Kursi roda Adrian tidak lagi di sana. Namun, ketenangan yang ia ajarkan tetap tinggal.
Sambil menatap langit, Dina berbisik pada dirinya sendiri, "Menerima bukan berarti menyerah. Itu berarti hidup sepenuhnya. Terima kasih, Adrian."
Air matanya jatuh, tapi kali ini, hatinya benar-benar tenang.