Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Baru

16 Desember 2024   04:49 Diperbarui: 16 Desember 2024   04:49 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sudut kota tua yang memudar di bawah berat waktu, hidup seorang perempuan muda bernama Nara. Rumahnya sederhana, berdiri di antara deretan bangunan yang berderak setiap kali angin malam datang. Nara bekerja sebagai penjaga toko lilin di sebuah kios kecil di pinggir pasar. Lilin-lilin itu terbuat dari tangan, indah dan rumit, dengan aroma lembut yang mengingatkan pada musim semi yang singkat.

Namun, hidup Nara tidak seindah lilin-lilin yang ia jual. Suaminya, Tama, seorang pemahat kayu, telah meninggal setahun lalu dalam kecelakaan kerja. Sejak itu, Nara hidup sendiri, memikul hutang yang tak pernah ia buat, dan harapan yang semakin redup seperti senja yang perlahan menghilang.

Sore itu, seorang pembeli masuk ke toko, seorang wanita kaya bernama Sita. Sita adalah pelanggan tetap yang gemar memamerkan kemewahan hidupnya. Ia mengenakan perhiasan berkilau yang mencolok di bawah cahaya lilin.

"Nara, kapan kamu akan tutup toko kecil ini dan mulai hidup layak?" tanya Sita dengan nada merendahkan. "Maksudku, kamu bisa saja bekerja di pabrik atau menikah lagi. Untuk apa hidup seperti ini, hanya cukup untuk makan?"

Nara tersenyum kecil, walau hatinya terasa tertusuk. "Aku bahagia dengan apa yang aku punya, Sita. Toko ini... lilin-lilin ini adalah bagian dari hidupku dan Tama."

Sita tertawa sinis. "Bahagia? Jangan bercanda, Nara. Hidupmu ini seperti lilin---perlahan meleleh dan hilang tanpa arti."

Namun, sebelum Nara sempat menjawab, suara pintu toko terdengar terbuka lagi. Seorang lelaki tua dengan pakaian kumal masuk, membawa kotak kecil berisi lilin bekas yang hampir habis terbakar.

"Maaf, Nona. Apakah lilin-lilin ini masih bisa dijual kembali? Aku butuh uang untuk makan malam," tanya lelaki tua itu dengan suara lemah.

Sita segera mendengus jijik dan melangkah keluar dari toko, tetapi Nara menatap lilin-lilin itu dengan hati tersentuh. "Tidak, Pak. Lilin-lilin ini tidak bisa dijual. Tapi, bagaimana kalau saya memberimu lilin baru dan makanan?"

Lelaki tua itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nona. Semoga cahaya lilinmu menerangi jalanmu sendiri."

Saat malam tiba, Nara duduk sendirian di toko, menatap lilin-lilin yang menyala redup di rak. Kata-kata Sita dan lelaki tua tadi bergema di kepalanya.

Seorang sahabat lama, Hadi, datang menjenguk. "Nara, kenapa kamu masih bertahan di sini? Kota ini, hidup ini... semuanya tidak adil padamu. Kamu bisa menjual toko ini dan memulai hidup baru."

"Aku tidak bisa, Hadi," jawab Nara. "Ini satu-satunya yang aku punya. Toko ini adalah warisan Tama, tempat kenangan kami hidup. Bagaimana aku bisa meninggalkannya?"

"Tapi kenangan tidak bisa memberimu makan, Nara. Mereka tidak bisa membayar hutangmu," desak Hadi.

Nara terdiam lama, menatap lilin yang hampir padam di depannya. "Mungkin kebahagiaan bukan tentang memiliki lebih banyak, Hadi. Mungkin itu tentang menerima apa yang sudah ada. Aku tidak butuh lebih dari ini. Aku hanya butuh damai."

Beberapa minggu berlalu. Nara terus menjalani hidupnya di toko kecil itu, dengan senyum tenang meskipun kesulitan terus mengintainya.

Namun, suatu malam, pasar terbakar. Api melahap segala yang ada di sekitarnya, termasuk toko lilin Nara. Dia hanya bisa berdiri di kejauhan, melihat semuanya berubah menjadi abu. Hadi datang dengan panik.

"Nara! Ini kesempatanmu untuk pergi! Kamu tidak punya apa-apa lagi di sini!" serunya.

Nara memandang api yang membakar semua kenangannya, tetapi air matanya tak keluar. Dia hanya tersenyum tipis. "Tidak, Hadi. Aku masih punya sesuatu---aku masih punya diriku sendiri."

Dia berbalik pergi, meninggalkan sisa-sisa toko yang pernah menjadi dunia kecilnya. Dalam hati, dia tahu bahwa kebaikan yang ia tanam membuahkan hasil di saat tak terduga.

Saat berjalan menjauh, Nara menemukan lelaki tua yang dulu ia bantu sedang berdiri di ujung gang. Lelaki itu tersenyum padanya dan berkata, "Nona, lilin yang kau berikan malam itu menyelamatkan hidupku. Kini aku ingin memberikan sesuatu untukmu."

Ia menyerahkan sebuah kantong kecil berisi uang. "Gunakan ini untuk memulai lagi, Nona. Jangan biarkan apimu padam."

Di bawah langit malam yang diterangi bulan, Nara menerima kantong itu dengan tangan gemetar. Cahaya lilin terakhir memang telah padam, tetapi cahaya baru mulai menyala dalam dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun