Ia jatuh berlutut, menangis di bawah pohon-pohon yang bisu itu. Tangisannya seperti doa yang naik ke langit.
Pagi itu, ketika matahari muncul dari balik bukit, Nadira terbangun di ladang. Hujan telah reda, tapi embun masih menempel di dedaunan. Ia merasa ada yang berbeda.
Lalu ia melihatnya.
Di salah satu pohon, sebuah bunga kecil telah mekar.
Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini karena kebahagiaan. Ia berlari ke rumah, membawa berita itu kepada Raka.
"Mas! Pohon kita berbunga!"
Raka menatapnya dengan bingung, tetapi ia tahu istrinya tidak berbohong. Mereka berjalan bersama ke ladang. Di sana, bunga itu berdiri dengan anggunnya, sebuah simbol dari perjuangan yang tak sia-sia.
"Mungkin... kita memang butuh lebih dari sekadar air hujan," ujar Raka pelan. "Mungkin kita butuh air mata, doa, dan cinta."
Minggu-minggu berlalu, dan pohon-pohon itu mulai menghasilkan buah. Setiap buah yang dipetik dari ladang adalah buah dari perjuangan, cinta, dan pengorbanan.
"Buah dari air hujan adalah buah yang biasa," kata Nadira suatu hari. "Tapi buah dari air mata... adalah buah yang akan selalu kita kenang."
Dan di bawah pohon-pohon itu, mereka membangun kembali cinta yang pernah retak, dengan janji bahwa apa pun badai yang datang, mereka akan selalu bertahan bersama.