OLEH; Khoeri Abdul Muid
Malam itu, langit menangis. Deras. Suara tetesannya seperti simfoni pilu, membasahi bumi yang haus. Nadira duduk di balik jendela rumah mungilnya, memandangi dunia yang terbungkus tirai hujan. Tangannya memeluk sebuah keranjang kosong. Kosong, seperti hatinya.
"Buah yang kau janjikan itu, mana?" suara Raka, suaminya, menggema dari dapur. Nada suaranya tajam, menusuk seperti pisau yang dihunuskan ke udara.
Nadira menelan ludah. Ia tahu apa yang akan terjadi. "Aku... aku belum bisa memenuhinya, Mas," jawabnya pelan, suaranya gemetar.
Raka muncul, tubuhnya tinggi menjulang, bayangannya memanjang ke arah Nadira. "Belum bisa? Sampai kapan kau akan gagal, Nadira? Aku sudah lelah menunggu hasil dari 'tanah subur' yang selalu kau banggakan itu!"
Matanya mengkilat, bukan karena harapan, melainkan kemarahan yang meledak-ledak.
Mereka adalah pasangan petani yang baru menikah dua tahun lalu. Pernikahan mereka dimulai dengan hujan lebat---bukan hujan yang mengguyur tanah, tetapi hujan harapan. Di ladang kecil di belakang rumah mereka, Nadira menanam pohon-pohon buah.
"Percayalah, Mas. Pohon ini akan menghasilkan buah terbaik. Kita bisa menjualnya di pasar dan hidup lebih baik," katanya penuh keyakinan waktu itu.
Namun, dua tahun berlalu, dan pohon-pohon itu tetap bisu. Tak ada bunga, apalagi buah. Hanya daun-daun yang melambai seperti mengejeknya setiap kali angin bertiup.
"Kau selalu bilang itu akan berhasil. Mana hasilnya? Hujan sudah turun ribuan kali. Tapi buahnya? Nol! Sama seperti usahamu!"
"Mas..." Nadira mencoba berbicara, tapi suaranya tenggelam di bawah teriakan Raka.
Malam itu, Nadira duduk di ruang tamu, tangannya menggenggam sehelai daun kering dari pohon di ladang. Daun itu adalah simbol dari harapan yang hampir mati.
Raka berdiri di hadapannya, wajahnya dipenuhi garis kemarahan. "Aku sudah bilang, kalau ladang itu tidak menghasilkan apa-apa, kita jual saja. Aku bisa beli mesin penggiling beras dengan uangnya!"
"Tidak, Mas. Ladang itu adalah jiwa kita. Aku tahu, suatu hari nanti, buahnya akan muncul. Kita hanya butuh waktu."
"Waktu? Berapa lama lagi, Nadira? Sampai kita kelaparan? Sampai anak-anak kita---ah, kita bahkan tak punya anak! Kau tahu kenapa? Karena kau lebih sibuk dengan pohon-pohon bodoh itu daripada membangun keluarga!"
Kata-kata itu menghantam Nadira seperti badai. Ia merasa tubuhnya remuk, tetapi ia tetap berdiri, meski gemetar.
"Mas, pohon-pohon itu mungkin belum berbuah karena aku menyiraminya dengan air yang salah."
"Air yang salah?" Raka mendengus. "Apa maksudmu?"
"Pohon-pohon itu disirami air hujan. Tapi mungkin... mereka butuh air mata."
Air Mata yang Menyuburkan
Malam itu, setelah Raka pergi dengan amarahnya, Nadira berjalan menuju ladang di tengah hujan. Tubuhnya basah kuyup, tapi ia tak peduli. Ia berdiri di antara pohon-pohon yang ia tanam dengan tangannya sendiri.
"Maafkan aku," bisiknya. Air mata mengalir dari matanya, bercampur dengan hujan yang jatuh. "Aku menaruh seluruh harapanku pada kalian, tapi mungkin aku lupa memberikan cinta. Kalian tak hanya butuh air hujan. Kalian butuh jiwaku."
Ia jatuh berlutut, menangis di bawah pohon-pohon yang bisu itu. Tangisannya seperti doa yang naik ke langit.
Pagi itu, ketika matahari muncul dari balik bukit, Nadira terbangun di ladang. Hujan telah reda, tapi embun masih menempel di dedaunan. Ia merasa ada yang berbeda.
Lalu ia melihatnya.
Di salah satu pohon, sebuah bunga kecil telah mekar.
Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini karena kebahagiaan. Ia berlari ke rumah, membawa berita itu kepada Raka.
"Mas! Pohon kita berbunga!"
Raka menatapnya dengan bingung, tetapi ia tahu istrinya tidak berbohong. Mereka berjalan bersama ke ladang. Di sana, bunga itu berdiri dengan anggunnya, sebuah simbol dari perjuangan yang tak sia-sia.
"Mungkin... kita memang butuh lebih dari sekadar air hujan," ujar Raka pelan. "Mungkin kita butuh air mata, doa, dan cinta."
Minggu-minggu berlalu, dan pohon-pohon itu mulai menghasilkan buah. Setiap buah yang dipetik dari ladang adalah buah dari perjuangan, cinta, dan pengorbanan.
"Buah dari air hujan adalah buah yang biasa," kata Nadira suatu hari. "Tapi buah dari air mata... adalah buah yang akan selalu kita kenang."
Dan di bawah pohon-pohon itu, mereka membangun kembali cinta yang pernah retak, dengan janji bahwa apa pun badai yang datang, mereka akan selalu bertahan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H