OLEH: Khoeri Abdul Muid
Aku selalu percaya, kebahagiaan sering datang dari hal-hal yang tampaknya sepele. Bagi orang lain, mungkin hanya daun. Tapi bagiku, keladi adalah pelipur lara, penyemangat jiwa. Setiap kali melihat koleksi baruku dengan corak yang unik dan memikat, ada rasa lega, seolah dunia berhenti berisik.
Suatu sore, aku memindahkan keladi hasil berburu dari taman milik Mbak Reina, seorang kolektor keladi yang selalu berhasil membuatku terpukau. Keladi baru itu, dengan semburat merah muda pada daunnya, tampak hidup, seperti menari-nari di atas hijau pekat yang berkilau diterpa cahaya matahari. Itu adalah cinta pada pandangan pertama.
"Astaga, Mom!" seru Raka, putraku yang baru saja pulang sekolah. "Lagi? Itu keladi baru lagi, kan?"
Aku terdiam sejenak, memutar otak mencari jawaban yang tepat. "Iya, Raka. Jangan marah ya."
Ia memandangku dengan sorot mata yang sulit kutebak, tapi tak ada kemarahan di sana. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berkata, "Kenapa harus marah? Duitnya Mom sendiri, kan? Asal Mom bahagia, itu yang penting."
Kalimat itu menyentuh sesuatu yang dalam di hatiku. Sederhana, tapi penuh arti. Raka tidak hanya menerima, tapi juga mendukung pilihanku.
Namun, kebahagiaan itu seperti keladi---cantik tapi rentan. Seminggu kemudian, hujan badai melanda, memukul-mukul daun keladiku tanpa ampun. Salah satu keladi kesayanganku rusak. Daunnya sobek, batangnya patah, warna hidupnya memudar dalam semalam. Itu bukan keladi termahalku, tapi punya nilai emosional yang besar.
Malam itu, aku menangis. Aku merasa gagal menjaga sesuatu yang kucintai, merasa egois karena melibatkan Raka dalam kesenanganku, padahal aku seharusnya lebih bijak menggunakan uang.
Keesokan paginya, Raka menghampiriku sambil membawa pot keladi yang rusak itu. "Mom, ayo coba kita tanam ulang. Siapa tahu masih bisa selamat."
"Kayaknya percuma, Rak. Udah rusak parah," jawabku lirih.
"Tapi kita gak bakal tahu kalau gak dicoba, kan?" katanya sambil tersenyum tipis.
Senyuman itu cukup untuk membuatku berdiri. Kami mulai bekerja bersama, mengganti media tanam, memotong bagian yang rusak, dan menata ulang potnya. Raka menggali tanah dengan hati-hati, sementara aku membersihkan akarnya yang mulai membusuk. Tak banyak bicara, tapi kehadirannya membuat semua terasa lebih ringan.
Sebulan berlalu, dan keajaiban kecil terjadi. Pagi itu, cahaya matahari menembus dedaunan, menyinari tunas kecil di pot yang dulu kusangka mati. Tunas itu berdiri tegak, membawa warna hijau muda yang segar. Hati kecilku melonjak, seperti mendengar sebuah lagu yang lama hilang.
Aku menatap keladi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Raka, yang berdiri di sampingku, berkata dengan nada pelan, "Mom, lihat, keladi ini gak menyerah. Sama seperti kita, kan?"
Aku menoleh ke arahnya, merasa mataku mulai basah. Dalam momen itu, aku sadar, kebahagiaan sejati bukan tentang apa yang kita miliki, melainkan siapa yang menemani kita melewati segalanya.
Keladi itu, dan Raka, adalah pengingat bahwa hidup tak selalu tentang keindahan yang sempurna. Kadang, justru dari luka dan kehilangan, kita belajar apa arti bahagia. Kini, setiap kali melihat keladi di sudut taman, aku tak hanya melihat daun, tapi juga rasa syukur. Kebahagiaan selalu ada, selama hati kita memilih untuk menerimanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H