"Kayaknya percuma, Rak. Udah rusak parah," jawabku lirih.
"Tapi kita gak bakal tahu kalau gak dicoba, kan?" katanya sambil tersenyum tipis.
Senyuman itu cukup untuk membuatku berdiri. Kami mulai bekerja bersama, mengganti media tanam, memotong bagian yang rusak, dan menata ulang potnya. Raka menggali tanah dengan hati-hati, sementara aku membersihkan akarnya yang mulai membusuk. Tak banyak bicara, tapi kehadirannya membuat semua terasa lebih ringan.
Sebulan berlalu, dan keajaiban kecil terjadi. Pagi itu, cahaya matahari menembus dedaunan, menyinari tunas kecil di pot yang dulu kusangka mati. Tunas itu berdiri tegak, membawa warna hijau muda yang segar. Hati kecilku melonjak, seperti mendengar sebuah lagu yang lama hilang.
Aku menatap keladi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Raka, yang berdiri di sampingku, berkata dengan nada pelan, "Mom, lihat, keladi ini gak menyerah. Sama seperti kita, kan?"
Aku menoleh ke arahnya, merasa mataku mulai basah. Dalam momen itu, aku sadar, kebahagiaan sejati bukan tentang apa yang kita miliki, melainkan siapa yang menemani kita melewati segalanya.
Keladi itu, dan Raka, adalah pengingat bahwa hidup tak selalu tentang keindahan yang sempurna. Kadang, justru dari luka dan kehilangan, kita belajar apa arti bahagia. Kini, setiap kali melihat keladi di sudut taman, aku tak hanya melihat daun, tapi juga rasa syukur. Kebahagiaan selalu ada, selama hati kita memilih untuk menerimanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H